Oke disini saya akan menceritakan sedikit tentang
kisah wirausaha di Indonesia:
- Kustinah
- Rempeyek
Bisnis makanan memang selalu menarik
untuk dibahas. Nah untuk kali ini kita akan membahas makanan khas INDONESIA
yang sampai saat ini masih nemenin kita saat makan, yaitu.... REMPEYEK! Yaps
ibu Kustinah seorang wanita berusia 37 tahun yang sudah mendapat gelar
milyader. Siapa sangka kini omzetnya mencapai 300 juta per bulan, waw!
Awalnya ibu Kustinah hanya seorang ibu rumah tangga
yang berniat membantu kebutuhan keluarga dengan menjadi penggoreng rempeyek di
salah satu pabrik rempeyek di kampung Pulomadu. Kemudian ibu Kustinah mencoba
membuat di rumah dan dijual ke tetangga, daaaan komentar mereka positif. Oke
pada akhirnya ibu Kustinah memutuskan buka usaha rempeyek sendiri. Saat ini
beliau mampu menjual 5000 bungkus per hari dan pemasarannya sudah sampai ke
Bantul, Yogyakarta, Jakarta dan Bekasi. Ada 3 jenis rempeyek yang diproduksi
ibu Kustinah, yaitu rempeyek kacang tanah, rempeyek kedelai hitam dan rempeyek
kedelai putih. Untuk memenuhi permintaan pasar yang begitu besar, ibu Kustinah
dibantu 35 karyawan + tetangga dan 10 tungku penggorengan besar. Dari
kisah ini bisa kita simpulkan bahwa usaha apapun akan berhasil jika kita
pantang menyerah, kerja keras dan selalu berdoa.
Sumber: http://www.masfrandy.com/2015/02/kisah-sukses-bisnis-rumahan-merubah-buruh-menjadi-milyarder.html
2. Lusia
Hariyany – Amira Handycraft
Kain
perca seringkali dianggap kain sisa yang tidak diperhitungkan nilai ekonominya.
Namun di tangan ibu Lusia Hariyany (48), kain perca ini diubah menjadi sebuah produk kreasi
sulaman yang berharga ratusan ribu rupiah. Kuncinya, ia menjahit dengan teknik sulaman quilts dan patchwork yang memerlukan keahlian khusus.
Sejak duduk di bangku SMP, ibu Lusia memang hobi menjahit dan menyulam. Namun hobi ini tak lagi ia geluti karena kesibukan mengurus rumah tangga. Tahun 2004, ketika ia pindah mengikuti suaminya, Supratman Hadi Purnomo ke Surabaya, Lusia banyak memiliki waktu luang karena anak-anaknya sudah besar dan masuk SMA. Ia pun kembali teringat hobi lamanya, mengutak-atik sulaman. Awalnya beliau menyulam dipakaian dan kerudung yang dikenakannya sehari-hari, lalu tetangga dan teman-temannya menyukai. Mereka kemudian memesan produk kerajinan lain seperti seprai dan taplak meja.
Lantaran kebanjiran pesanan, tahun 2005, Lusia memberanikan diri membuka usaha dengan bendera Amira Handycraft. “Modal awal hanya lima juta rupiah, saya gunakan untuk membeli kain dan benang,” ujar wanita kelahiran Surabaya ini. Awal usahanya, ia mengerjakan produksi sendiri dan hanya dibantu satu karyawan.
Lusia terus berinovasi mengembangkan produknya. Ia pun belajar patchwork, appliqué dan quilts dari buku. Ketiganya merupakan kerajinan tangan berbahan dasar kain perca yang disusun dan dijahit secara kompak, sehingga menghasilkan karya yang artistik. Untuk mendalami patchwork, Lusia mengikuti kursus selama 3 hari di Jakarta dari seorang guru berkebangsaan Jepang. Produk sulamannya pun merambah ke dompet, sarung bantal, bed cover dan tas. Kini, produk tas perca menjadi unggulan Amira Handicraft. Harga produknya berkisar antara Rp50 ribu hingga Rp3,5 juta. Untuk menjaring konsumen, Lusia rajin mengikuti pameran. “Pameran sangat membantu memperluas pasar, karena banyak konsumen atau pedagang reseller datang dari berbagai daerah,” ujarnya.
Ketika dunia online makin semarak, ia tak ketinggalan. Ia pun berusaha memaksimalkan usahanya melalui digital marketing. Dibantu oleh menantunya, Nadia (24), ia memasarkan produknya melalui internet. “Kami memanfaatkan media sosial seperti facebook, twitter, dan website. Melalui internet, saya menjangkau lebih banyak konsumen dari luar kota. Kini pembeli terbanyak dari Jakarta, Bandung dan Medan,” ungkapnya, bangga.
Lusia mengaku, banyaknya pesanan yang datang tidak sebanding dengan waktu pengerjaan yang lama. Ia merasa perlu menambah karyawan. “Hampir 80% produk saya handmade, hanya 20% yang dikerjakan dengan mesin, itu yang membuat waktu pengerjaannya lama,” ungkapnya. Wanita ini tak habis akal, ia kemudian memberikan pelatihan menyulam bagi warga desa di Pandaan dan Sidoarjo. “Dari hasil pelatihan itu, saya terkejut, ternyata ada seorang bapak yang jahitannya sangat rapi,” ungkapnya. Mereka yang menghasilkan karya terbaik, oleh Lusia kemudian direkrut menjadi karyawannya. Saat ini, Lusia telah memiliki 7 orang karyawan yang bekerja di rumah masing-masing. Seminggu sekali, Lusia datang ke desa mereka ke Pandaan dan Sidoarjo untuk mensuplai bahan baku dan mengambil produk yang telah jadi. Namun, bagi Lusia, bisnis tak hanya melulu mengejar uang. Kebahagiaan terbesarnya adalah ketika ia bisa menularkan ilmunya kepada orang lain, terlebih mereka yang tidak bekerja. “Membantu dalam bentuk ilmu itu tidak akan pernah habis. Membuat orang lain berdaya secara ekonomi, itu sumber kebahagiaan saya,” jelas wanita yang merupakan salah satu Mitra Binaan Bank Mandiri ini.
Sejak duduk di bangku SMP, ibu Lusia memang hobi menjahit dan menyulam. Namun hobi ini tak lagi ia geluti karena kesibukan mengurus rumah tangga. Tahun 2004, ketika ia pindah mengikuti suaminya, Supratman Hadi Purnomo ke Surabaya, Lusia banyak memiliki waktu luang karena anak-anaknya sudah besar dan masuk SMA. Ia pun kembali teringat hobi lamanya, mengutak-atik sulaman. Awalnya beliau menyulam dipakaian dan kerudung yang dikenakannya sehari-hari, lalu tetangga dan teman-temannya menyukai. Mereka kemudian memesan produk kerajinan lain seperti seprai dan taplak meja.
Lantaran kebanjiran pesanan, tahun 2005, Lusia memberanikan diri membuka usaha dengan bendera Amira Handycraft. “Modal awal hanya lima juta rupiah, saya gunakan untuk membeli kain dan benang,” ujar wanita kelahiran Surabaya ini. Awal usahanya, ia mengerjakan produksi sendiri dan hanya dibantu satu karyawan.
Lusia terus berinovasi mengembangkan produknya. Ia pun belajar patchwork, appliqué dan quilts dari buku. Ketiganya merupakan kerajinan tangan berbahan dasar kain perca yang disusun dan dijahit secara kompak, sehingga menghasilkan karya yang artistik. Untuk mendalami patchwork, Lusia mengikuti kursus selama 3 hari di Jakarta dari seorang guru berkebangsaan Jepang. Produk sulamannya pun merambah ke dompet, sarung bantal, bed cover dan tas. Kini, produk tas perca menjadi unggulan Amira Handicraft. Harga produknya berkisar antara Rp50 ribu hingga Rp3,5 juta. Untuk menjaring konsumen, Lusia rajin mengikuti pameran. “Pameran sangat membantu memperluas pasar, karena banyak konsumen atau pedagang reseller datang dari berbagai daerah,” ujarnya.
Ketika dunia online makin semarak, ia tak ketinggalan. Ia pun berusaha memaksimalkan usahanya melalui digital marketing. Dibantu oleh menantunya, Nadia (24), ia memasarkan produknya melalui internet. “Kami memanfaatkan media sosial seperti facebook, twitter, dan website. Melalui internet, saya menjangkau lebih banyak konsumen dari luar kota. Kini pembeli terbanyak dari Jakarta, Bandung dan Medan,” ungkapnya, bangga.
Lusia mengaku, banyaknya pesanan yang datang tidak sebanding dengan waktu pengerjaan yang lama. Ia merasa perlu menambah karyawan. “Hampir 80% produk saya handmade, hanya 20% yang dikerjakan dengan mesin, itu yang membuat waktu pengerjaannya lama,” ungkapnya. Wanita ini tak habis akal, ia kemudian memberikan pelatihan menyulam bagi warga desa di Pandaan dan Sidoarjo. “Dari hasil pelatihan itu, saya terkejut, ternyata ada seorang bapak yang jahitannya sangat rapi,” ungkapnya. Mereka yang menghasilkan karya terbaik, oleh Lusia kemudian direkrut menjadi karyawannya. Saat ini, Lusia telah memiliki 7 orang karyawan yang bekerja di rumah masing-masing. Seminggu sekali, Lusia datang ke desa mereka ke Pandaan dan Sidoarjo untuk mensuplai bahan baku dan mengambil produk yang telah jadi. Namun, bagi Lusia, bisnis tak hanya melulu mengejar uang. Kebahagiaan terbesarnya adalah ketika ia bisa menularkan ilmunya kepada orang lain, terlebih mereka yang tidak bekerja. “Membantu dalam bentuk ilmu itu tidak akan pernah habis. Membuat orang lain berdaya secara ekonomi, itu sumber kebahagiaan saya,” jelas wanita yang merupakan salah satu Mitra Binaan Bank Mandiri ini.
3.
Yoya
Hijab
Perkembangan trend busana muslim dan hijab dalam beberapa
tahun terakhir ini, berhasil mendongkrak omzet pelaku bisnis di bidang ini. Hal
ini dirasakan langsung oleh pemilik brand Yoya Hijab, yakni pasangan suami istri
Yoki Ferdian dan Yani Putri. Meski terbilang pemain baru, Yoya Hijab berhasil meluluhkan hati
konsumen lokal dan mancanegara.
Bagaimana tidak, lebih dari 20%
pelanggannya berasal dari luar negeri. Seperti, Malaysia, Singapura, Thailand,
Australia, Brunei Darussalam, serta beberapa negara di Asia Tenggara yang
mayoritas berpenduduk muslim. Saat ini, Yoki dan Yani bisa meraih omzet
mencapai satu miliar lebih setiap bulannya dari usahanya tersebut.
Tak jarang banyak langganan yang memesan
dalam jumlah banyak, terkadang permintaan bisa melebihi jumlah produksinya. Katanya,
kini setiap bulan ia bisa memproduksi lebih dari 40.000 hijab dengan berbagai corak
unik serta motif bahan yang bervariasi, dan 3.000 lebih pakaian wanita yang fashionable, modern, dan beda dari yang
lain.
Yoki dan Yani tidak pernah berpikir
usaha yang dirintisnya dari nol ini bisa berkembang dengan pesat seperti
sekarang. Maklum mereka berdua dulunya hanyalah karyawan toko di Tanah Abang. “Produksi kita yang pertama itu
awalnya sekitar 80 hijab, yang kemudian dijual di lapak atau persis di depan
toko-toko yang kebetulan tutup. Kalau tokonya buka kita pindah tempat lagi dan
mencari toko yang kebetulan tidak buka. Karena biasanya di Pasar Tasik Thamrin
City ini ada toko yang hanya buka setiap Senin dan Kamis,” ujar Yoki. Jangankan
dibeli orang, dilirik pun tidak. Apalagi bahan hijab yang dijualnya jarang
digunakan pedagang lain.
Namun, hal tersebut tidak mematahkan
semangat mereka. Yoki dan Yani terus berusaha dan mencoba mengenalkan produknya
kepada pembeli. Alhasil sekarang produk yang dibuat mulai dikenal banyak orang,
bahkan sampai ke mancanegara.
Demi menggenjot omzet penjualan, Yoya
Hijab pun merambahkan ke dunia online.
Dengan memanfaatkan sosial media dan website www.yoyahijab.com Dengan
adanya sosial media dan website,
dia juga ingin media ini berperan memberi edukasi terhadap para muslim dan
muslimah yang ada di Indonesia yaitu berisi artikel-artikel renyah yang bersifat
informatif. Saat ini akun Facebook Yoya Hijab sudah menembus angka lebih dari
30.000 like. Tentunya
angka tersebut sangat fantastis bagi pemain baru di dunia maya. Yoki
menuturkan, dari online saja omzet yang didapatkan bisa
mencapai 100 juta setiap bulannya. Sejauh ini, Yoya Hijab sudah
memiliki tiga gerai yang berlokasi di Thamrin City.
4.
Hannifa
– Boneka Kiwari
Hannifa adalah sosok
anak yang terbilang muda untuk produk boneka yang pasarnya justru banyak
bersaing dengan produk luar. Boneka dengan label Kiwari ini patut diacungi
jempol karena mampu beromset puluhan juta dalam beberapa bulan. Hal ini
disebabkan karena pangsa pasar awal berdirinya usaha ini adalah korporasi atau
perusahaan-perusahaan, tidak langsung ke konsumen individu. Sebuah strategi
yang menarik dan brilian.
“Untuk
saat ini saya memang baru membuka order boneka untuk perusahaan- perusahaan
alias b to b” ujar Hannifa Fitria, Lulusa Biologi ITB Angkatan 2004 ini selaku
pemilik brand Kiwari, produsen asal bandung.mana awal mula ide bisnis ini
sampai bisa sukses serti sekarang
Ide
memulai usaha ini adalah dari obrolan santai dengan rekannya pada saat kuliah.
Mereka ingin menciptakan produk-produk casual yang sedang ngetren dan menjadi
pembicaraan masyarakat. Modal yang dikeluarkan pun nol. Mereka mengandalkan
sumber daya manusia yakni tim produksi penjahit dari daerah industry kaos kota
Bandung yang hamper gulung tikar.
Usaha
yang mayoritas produknya adalah boneka ini memang mayoritas di produksi untuk
pesanan perusahaan-perusahaan di wilayah Bandung. Kiwari banyak mendapat
pesanan dari perusahaan IT dan perusahaan lain yang mayoritas bergerak di
bidang game dan software lainnya. Kenapa bisa begini? Ya, karena sebelumnya
Hannifa pernah bekerja di perusahaan IT dan computer di kotanya. Referensi dan
hubungan baiknya yang membuat order terus bertambah.
“Di
Bandung ini ada banyak perusahaan IT seperti Agate Studia yang memproduksi
game-game khusus smartphone. Nah ketika mereka membuat proyek game, mereka akan
order boneka karakter game tersebut kepada kita, dan Kiwari membuatnya,” lanjut
Hannifa sambil memperlihatkan contoh bonekanya.
Untuk
mempertahankan kualitas bonekanya agar mampu bersaing dengan competitor,
Hannifa selalu menekankan pada kualitas. Boneka kiwari mungkin sekilas mirip
dan sama dengan boneka lain di pasaran. Namun kalau dilihat lebih seksama,
boneka kiwari jahitan tangan kiwari lebih halus dan rapi. Kemudian dari segi
bahan juga berbeda, bahan dalam boneka diisi oleh silicon, buka busa seperti
boneka umumnya.
Hingga saat ini, Hannifa tidak memiliki rumah produksi sendiri, melainkan tetap bekerja sama dengan para pengrajin jahit. Hannifa tidak ingin usaha mereka bangkrut dan diambil olehnya, melainkan Hannifa ingin semua maju dan bekerja sama.
Hingga saat ini, Hannifa tidak memiliki rumah produksi sendiri, melainkan tetap bekerja sama dengan para pengrajin jahit. Hannifa tidak ingin usaha mereka bangkrut dan diambil olehnya, melainkan Hannifa ingin semua maju dan bekerja sama.
Omset
bisnisnya belumlah besar seperti yang dikira. Dalam sebulan rata-rata omset
Kiwari mencapai Rp. 20 juta sampai Rp. 30 juta. Namun pernah pada juga mencapai
Rp. 60 juta sebulan. Untuk harga boneka, Hannifa mematok kisaran harga Rp. 30
ribu dsampai Rp. 50 ribu per pcs. Bergantung dari tingkat kesulitan dalam
pembuatannya. Minimal pemesanan yakni 50 sampai 100 buah boneka dengan
pengerjaan selama 2 minggu.
SUMBER:http://seriusaha.blogspot.co.id/2015/04/kisah-sukses-hannifa-dengan
boneka.html
5.
Roja Fitridayani –
Hijab Princess
Sebelum bisa meraup hingga Rp 450 juta per bulan seperti saat
ini, Roja bercerita bahwa ia pernah menolak tawaran bekerja di perusahaan asing
di awal 2014 lalu. Bagi seorang mahasiswi yang baru saja lulus tentu itu
merupakan tawaran yang menggiurkan.
Tidak hanya gaji yang besar dan bisa bekerja di luar negeri, mahasiswi cum laude dengan IPK 4 lulusan Fakultas Bisnis & Manajemen Universitas Widyatama itu juga akan mendapatkan beasiswa penuh untuk mengambil program master. Kala itu, ia merasa pintu kariernya seolah terbuka lebar walau belum pernah bekerja sebelumnya.
Saat ini banyak wanita atau pria berusia muda yang sukses menjadi pengusaha. Roja Fitridayani merupakan salah satu anak muda yang telah berhasil mendirikan usaha sendiri tanpa bantuan orangtua dengan omzet ratusan juta rupiah per bulan.
Tidak hanya gaji yang besar dan bisa bekerja di luar negeri, mahasiswi cum laude dengan IPK 4 lulusan Fakultas Bisnis & Manajemen Universitas Widyatama itu juga akan mendapatkan beasiswa penuh untuk mengambil program master. Kala itu, ia merasa pintu kariernya seolah terbuka lebar walau belum pernah bekerja sebelumnya.
Saat ini banyak wanita atau pria berusia muda yang sukses menjadi pengusaha. Roja Fitridayani merupakan salah satu anak muda yang telah berhasil mendirikan usaha sendiri tanpa bantuan orangtua dengan omzet ratusan juta rupiah per bulan.
Wanita
dengan sapaan akrab Oja itu menuturkan sempat bimbang apa ia mengambil tawaran
tersebut atau tetap berjualan jilbab. Oja memang sudah menjadi memiliki usaha
hijab sejak 2012. Ia juga telah memiliki pegawai walaupun belum ada kantor
resmi saat itu. Namun di sisi lain, tawaran bekerja di perusahaan asing dengan
penempatan di luar negeri tanpa mengikuti tes tentu akan menjadi awal mula yang
bagus untuk berkarier.
Pemilik label 'Hijab Princess' itu pun berdiskusi dengan keluarga. Kedua orangtua mendukung apa pun keputusannya namun lebih menyarankan agar ia mengambil tawaran tersebut. Oja semakin bimbang karena ia mengaku merasa berat meninggalkan usahanya walaupun sebenarnya masih bisa dijalankan dengan mengontrolnya dari jauh saat ia bekerja.
"Aku ditawari bekerja perusahaan minyak asal Prancis, katanya gajiku dua kali lipat, penempatan di Singapura. Sebenarnya ada yang di Jakarta tapi katanya di Singapura jenjang kariernya bagus. Aku galau, aku salat istikharah akhirnya aku memilih tetap mengurus 'Hijab Princess'," tutur Oja saat dihubungi Wolipop beberapa waktu lalu.
Keputusannya menolak tawaran besar itu bukan tanpa alasan. Oja telah memikirkannya secara matang agar tidak menyesal di kemudian hari. Oja mengatakan ia merupakan sosok wanita perfeksionis dan idealis sehingga semua tindakannya sudah dipertimbangkan lebih dulu sebelum mengambil keputusan.
Menurutnya, tawaran besar yang diberikan oleh perusahaan tentu tidak tanpa pertimbangan. Perusahaan juga sudah memiliki pertimbangan sendiri untuk mempekerjakannya demi meningkatkan keuntungan. Oja merasa bila dibayar dengan gaji besar maka ia harus mendedikasikan diri dan waktunya hanya untuk perusahaan.
"Bisa saja sih sebenarnya aku vakum dulu tapi misalnya aku ke Singapura waktu itu belum tentu 'Hijab Princess' jadi seperti sekarang. Nggak aku ambil juga karena aku akan dituntut untuk mendedikasikan diri. Perusahaan bayar mahal buat apa, berarti banyak sekali potensi dan waktu aku yang akan diambil perusahaan, aku pikir kenapa potensi dan waktuku nggak aku dedikasikan untuk usahaku sendiri saja," papar wanita yang berdomisili di Bandung.
Kini ia masih bisa melanjutkan pendidikannya dengan uang hasil kerja kerasnya di Master of Business Administration, Institut Teknologi Bandung (ITB). Di akhir kata, Oja berpesan kepada seluruh wanita muda yang ingin mengikuti jejaknya agar jangan pernah takut mencoba.
Pemilik label 'Hijab Princess' itu pun berdiskusi dengan keluarga. Kedua orangtua mendukung apa pun keputusannya namun lebih menyarankan agar ia mengambil tawaran tersebut. Oja semakin bimbang karena ia mengaku merasa berat meninggalkan usahanya walaupun sebenarnya masih bisa dijalankan dengan mengontrolnya dari jauh saat ia bekerja.
"Aku ditawari bekerja perusahaan minyak asal Prancis, katanya gajiku dua kali lipat, penempatan di Singapura. Sebenarnya ada yang di Jakarta tapi katanya di Singapura jenjang kariernya bagus. Aku galau, aku salat istikharah akhirnya aku memilih tetap mengurus 'Hijab Princess'," tutur Oja saat dihubungi Wolipop beberapa waktu lalu.
Keputusannya menolak tawaran besar itu bukan tanpa alasan. Oja telah memikirkannya secara matang agar tidak menyesal di kemudian hari. Oja mengatakan ia merupakan sosok wanita perfeksionis dan idealis sehingga semua tindakannya sudah dipertimbangkan lebih dulu sebelum mengambil keputusan.
Menurutnya, tawaran besar yang diberikan oleh perusahaan tentu tidak tanpa pertimbangan. Perusahaan juga sudah memiliki pertimbangan sendiri untuk mempekerjakannya demi meningkatkan keuntungan. Oja merasa bila dibayar dengan gaji besar maka ia harus mendedikasikan diri dan waktunya hanya untuk perusahaan.
"Bisa saja sih sebenarnya aku vakum dulu tapi misalnya aku ke Singapura waktu itu belum tentu 'Hijab Princess' jadi seperti sekarang. Nggak aku ambil juga karena aku akan dituntut untuk mendedikasikan diri. Perusahaan bayar mahal buat apa, berarti banyak sekali potensi dan waktu aku yang akan diambil perusahaan, aku pikir kenapa potensi dan waktuku nggak aku dedikasikan untuk usahaku sendiri saja," papar wanita yang berdomisili di Bandung.
Kini ia masih bisa melanjutkan pendidikannya dengan uang hasil kerja kerasnya di Master of Business Administration, Institut Teknologi Bandung (ITB). Di akhir kata, Oja berpesan kepada seluruh wanita muda yang ingin mengikuti jejaknya agar jangan pernah takut mencoba.
"Jangan
pernah menyerah sebelum kamu benar-benar yakin sudah mengeluarkan kemampuan
terbaikmu untuk hal yang kamu perjuangkan. Itu yang selama ini saya pegang
sehingga terkesan keras kepala, tapi tak apa daripada kamu menyesal dikemudian
hari. Last but not least,
selalu minta pertolongan Allah, niatkan bisnis kamu ini sebagai modal yang bisa
memberatkan timbangan kebaikan di akhirat kelak," pesannya.