Minggu, 21 Juni 2015

TETAP BELAJAR DI USIA SENJA


            Sudah setahun belakangan saya mengajar les privat mengaji Al-Qur’an. Ini bermula dari permintaan seorang kenalan yang meminta saya untuk mengajari seseorang membaca Al-Qur’an lantaran huruf alif-ba-ta saja dia belum kenal. Bacaan shalat yang selama ini dia miliki pun hasil dari menghafal tulisan latin, bukan dari tulisan Arab. Begitu informasi yang saya dapat. Dengan basmallah, saya mengiyakan permintaan itu.
            Mengajari seseorang membaca Al-Qur’an, dan seseorang itu usianya sangat jauh diatas saya, adalah kesempatan emas buat saya. Meski tidak tahu kendala apa yang mungkin saya hadapi kelak, tapi karena ini kesempatan emas, saya berusaha untuk tidak menyia-nyiakannya.
            Sore hari sepulang dari kantor, saya mendatangi rumah murid istimewa saya itu. Siapa dia? Seorang perempuan dengan gairah belajar yag masih menyala meski usianya 80 tahun! Di usia senja seperti itu, tentu banyak orang yang memilih untuk ‘istirahat’, sekadar menghabiskan sisa-sisa waktu yang dimilikinya, ketimbang capek-capek menguras pikiran dan tenaga untuk mempelajari suatu hal. Tapi nenek yang satu ini memilih yang terakhir. Dengan segala keterbatasannya sebagai lansia, daya ingat yang menurun, uzur dan berkursi roda, dia mau belajar apa yang belum diketahuinya: huruf-huruf Al-Qur’an.
            Mengajar seorang nenek memang berbeda dengan anak muda. Waktu belajarnya harus disesuaikan dengan ritme hidupnya. Terkadang baru 15 menit belajar, sudah harus break. Kalau badannya sedang tidak fit, nenek akan tertidur pulas saat saya sedang serius mengajar. Saya pun tak punya target besar dengan nenek ini. Yang penting dia bisa membaca syahadat, tahu arti dan penghayatannya, sanggup shalat semampunya, itu sudah cukup.
            Nenek belajar dengan metode mendengar, karena pandangannya sudah kabur. Setiap ayat yang saya baca, dia perhatikan dengan cermat lantas ditirunya. Kemudian dia ucapkan berkali-kali sampai dia bisa menghafalnya.
            Tidak sampai dua bulan nenek mampu menghafal bacaan syahadat dan shalat dengan arti dan pemahamannya. Padahal saat belajar banyak breaknya, dan saya juga sering menggunakan waktu belajar untuk menceritakan kisah Nabi dan para sahabat agar dia tidak jenuh. Dari anaknya nenek saya tahu, belajar memang hobi nenek sejak kecil. Tak heran, meski usianya senja, tetapi semangatnya tak kalah dengan anak muda.
            Bagi saya dialah murid yang terbaik. Kesungguhannya belajar, kepatuhannya atas segala arahan—meski disertai dengan segala kekurangannya—mengajarkan saya arti sebuah ketaatan murid terhadap gurunya. Dia juga mau merendahkan egonya untuk belajar dengan saya yang usianya jauh lebih muda dibanding dia. Dia memposisikan saya sebagai guru, dan selalu memanggil saya dengan sebutan “ibu”.
            Satu hal lagi yang saya dapatkan, ternyata tidak selalu guru itu memberi ilmunya kepada murid. Terkadang guru pun belajar dari sang murid, terutama mereka yang sudah banyak merasakan asam garam kehidupan.


Sumber: Haniana, Sentul City, Bogor. (Majalah Ummi, Oktober 2008) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar