Sudah setahun belakangan saya
mengajar les privat mengaji Al-Qur’an. Ini bermula dari permintaan seorang
kenalan yang meminta saya untuk mengajari seseorang membaca Al-Qur’an lantaran
huruf alif-ba-ta saja dia belum kenal. Bacaan shalat yang selama ini dia miliki
pun hasil dari menghafal tulisan latin, bukan dari tulisan Arab. Begitu
informasi yang saya dapat. Dengan basmallah, saya mengiyakan permintaan itu.
Mengajari seseorang membaca
Al-Qur’an, dan seseorang itu usianya sangat jauh diatas saya, adalah kesempatan
emas buat saya. Meski tidak tahu kendala apa yang mungkin saya hadapi kelak,
tapi karena ini kesempatan emas, saya berusaha untuk tidak menyia-nyiakannya.
Sore hari sepulang dari kantor, saya
mendatangi rumah murid istimewa saya itu. Siapa dia? Seorang perempuan dengan
gairah belajar yag masih menyala meski usianya 80 tahun! Di usia senja seperti
itu, tentu banyak orang yang memilih untuk ‘istirahat’, sekadar menghabiskan
sisa-sisa waktu yang dimilikinya, ketimbang capek-capek menguras pikiran dan
tenaga untuk mempelajari suatu hal. Tapi nenek yang satu ini memilih yang terakhir.
Dengan segala keterbatasannya sebagai lansia, daya ingat yang menurun, uzur dan
berkursi roda, dia mau belajar apa yang belum diketahuinya: huruf-huruf
Al-Qur’an.
Mengajar seorang nenek memang
berbeda dengan anak muda. Waktu belajarnya harus disesuaikan dengan ritme
hidupnya. Terkadang baru 15 menit belajar, sudah harus break. Kalau badannya
sedang tidak fit, nenek akan tertidur pulas saat saya sedang serius mengajar.
Saya pun tak punya target besar dengan nenek ini. Yang penting dia bisa membaca
syahadat, tahu arti dan penghayatannya, sanggup shalat semampunya, itu sudah
cukup.
Nenek belajar dengan metode
mendengar, karena pandangannya sudah kabur. Setiap ayat yang saya baca, dia
perhatikan dengan cermat lantas ditirunya. Kemudian dia ucapkan berkali-kali sampai
dia bisa menghafalnya.
Tidak sampai dua bulan nenek mampu
menghafal bacaan syahadat dan shalat dengan arti dan pemahamannya. Padahal saat
belajar banyak breaknya, dan saya juga sering menggunakan waktu belajar untuk
menceritakan kisah Nabi dan para sahabat agar dia tidak jenuh. Dari anaknya
nenek saya tahu, belajar memang hobi nenek sejak kecil. Tak heran, meski
usianya senja, tetapi semangatnya tak kalah dengan anak muda.
Bagi saya dialah murid yang terbaik.
Kesungguhannya belajar, kepatuhannya atas segala arahan—meski disertai dengan
segala kekurangannya—mengajarkan saya arti sebuah ketaatan murid terhadap
gurunya. Dia juga mau merendahkan egonya untuk belajar dengan saya yang usianya
jauh lebih muda dibanding dia. Dia memposisikan saya sebagai guru, dan selalu
memanggil saya dengan sebutan “ibu”.
Satu hal lagi yang saya dapatkan,
ternyata tidak selalu guru itu memberi ilmunya kepada murid. Terkadang guru pun
belajar dari sang murid, terutama mereka yang sudah banyak merasakan asam garam
kehidupan.
Sumber: Haniana, Sentul City, Bogor. (Majalah
Ummi, Oktober 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar