Minggu, 21 Juni 2015

PEMUDA CERDAS YANG BERIMAN


            Pada zaman dahulu kala di Negeri Babylonia hiduplah seorang lelaki bernama Azar. Ia berprofesi sebagai tukang kayu. Namun, Azar bukan tukang kayu yang medirikan bangunan-bangunan. Bukan pula tukang kayu yang menghasilkan barang-barang keperluan rumah tangga. Azar adalah seorang tukang kayu yang menghasilkan patung-patung yang dijualnya sebagai berhala sembahan. Ya, Azar dan sebagian besar masyarakat Babylonia saat itu memang hidup dengan menyembah patung-patung berhala sebagai tuhan mereka.
            Azar memiliki seorang anak yang diberi nama Ibrahim. Ibrahim ini sejak kecil sudah menunjukkan tanda-tanda kecerdasan yang luar biasa. Dia misalnya sering merasa heran pada kebiasaan ayah dan kaum disekitar tempat tinggalnya yang selalu menyembah, memohon, meminta pendapat bahkan mengeluhkan persoalan-persoalan mereka pada patung-patung berhala.
            Padahal, Ibrahim melihat sendiri bagaimana ayahnya membuat patung-patung  itu dari kayu biasa yang diolahnya. Maka, mengapa pula patung yang tidak berdaya itu harus disembah begitu rupa?
            Selama bertahun-tahun, keheranan ini tidak disimpan begitu saja dalam hati Ibrahim, dia bahkan mempertanyakan hal itu pada bapaknya.
            “Mengapa ayah dan penduduk sini menyembah patung-patung yang ayah buat ini? Bukankah patung-patung ini sama sekali tidak berdaya, tidak dapat mendengar, tidak dapat berbicara, bahkan tidak dapat menolong dirinya sendiri?”
            Ayah Ibrahim tidak mau mendengar kritik anaknya. Bahkan ia menjadi marah pada Ibrahim yang dianggapnya telah menghina Tuhan. Maka, Ibrahim pun menjauhkan diri dari perilaku perilaku menyembah berhala ini. Tidak hanya itu, dari hari ke hari Ibrahim pun mencoba mencari tahu siapakah yang patut disembah, ditaati dan diikuti diatas muka bumi ini?
            Kecerdasan pemuda Ibrahim membawanya berpkir bahwa matahari adalah Tuhan, penguasa alam karena sinarnya yang kuat. Namun, matahari ternyata tenggelam. Maka, Ibrahim sempat bertanya-tanya dalam hati,mungkinkah bulan atau bintang merupakan Tuhan yang berkuasa karena telah memberi cahaya? Namun bulan dan bintang pun tenggelam.
            Hingga suatu hari Allah mengangkat Ibrahim menjadi Rasul dan memberikan bukti kekuasaan Allah dengan menghidupkan kembali empat ekor burung yang sudah mati. Ibrahim pun beriman kepada Allah.
            Sebagaimana pernah disampaikan pada ayahnya, Ibrahim pun mengajak kaum dan masyarakatnya meninggalkan penyembahan pada berhala dan beriman pada Allah saja. Tetapi mereka tidak mau mendengarnya. Maka Ibrahim pun kemudian membuat rencana.
            Pada suatu hari, saat penduduk desanya pergi merayakan sebuah pesta, Ibrahim tetap tinggal didesanya. Begitu orang-orang sudah menjauh, Ibrahim pun beranjak ke tempat kumpulan berhala yang diletakkan para penduduk desa pada sebuah tempat khusus.
            Berhala-berhala yang banyak jumlahnya ini dihancurkan oleh Ibrahim dengan menggunakan kapak kecuali satu berhala yang paling besar ukuran patungnya. Pada berhala besar ini diletakkannya kapak bekas menghancurkan berhala-berhala kecil.
            Ketika penduduk desa pulang dan melihat berhala-berhala mereka hancur berantakan,segera saja mereka meyakini Ibrahimlah yang menghancurkannya. Sebab Ibrahim adalah orang yang tidak pernah mau menyembah berhala dan pada hari itu tidak ikut pula merayakan pesta.
            “Kamukah yang menghancurkan berhala-berhalakami Ibrahim?” tanya mereka gusar.
            “Coba lihat berhala besar itu. Pada pundaknya terletak kapak. Mungkin dia yang menghancurkan berhala-berhala lain. Tanyakan saja padanya,” jawab Ibrahim.
            Penduduk desa menjadi jengkel. “Bagaimana kami bisa bertanya pada berhala besar itu? Patung kan tidak bisa berbicara,” kata mereka.
            “Nah, kalau patung itu tidak bisa berbicara dan tidak dapat ditanya, mengapa pula kalian mengadukan masalah, meminta tolong bahkan menyembahnya?” sindir Ibrahim.
            Penduduk desa terdiam malu mendengar jawaban Ibrahim. Namun karena keras kepala, mereka justru menghukum Ibrahim dengan membakarnya ditengah tumpukan kayu bakar yang menyala-nyala. Namun siapa mengira, Allah ternyata menyelamatkan Ibrahim tanpa sedikit pun luka ditubuhnya.
            Penduduk desa tidak tahu lagi apa yang dapat diperbuat pada Ibrahim, pemuda cerdas yang telah menunjukkan kebodohan mereka yang menyembah patung-patung berhala. Maka yang dapat mereka lakukan hanyalah mengusir Ibrahim pergi jauh dari tempat mereka tinggal.
            Namun Ibrahim tak gentar, bahkan kepergiannya itu kemudian menjadi jalan baginya untuk mendakwahkan keimanan pada Allah SWT kepada lebih banyak penduduk di berbagai tempat yang ditinggalinya, Syiria, Palestina hingga Mekkah Al Mukaromah. Dan sejak itu, berkembang pesatlah dakwah tauhid yang dibawa Ibrahim As. Selamat dan berkah semoga tercurah bagi Nabi Ibrahim As.


Sumber: Zirlyfera Jamil (Majalah Ummi, Oktober 2008)

TETAP BELAJAR DI USIA SENJA


            Sudah setahun belakangan saya mengajar les privat mengaji Al-Qur’an. Ini bermula dari permintaan seorang kenalan yang meminta saya untuk mengajari seseorang membaca Al-Qur’an lantaran huruf alif-ba-ta saja dia belum kenal. Bacaan shalat yang selama ini dia miliki pun hasil dari menghafal tulisan latin, bukan dari tulisan Arab. Begitu informasi yang saya dapat. Dengan basmallah, saya mengiyakan permintaan itu.
            Mengajari seseorang membaca Al-Qur’an, dan seseorang itu usianya sangat jauh diatas saya, adalah kesempatan emas buat saya. Meski tidak tahu kendala apa yang mungkin saya hadapi kelak, tapi karena ini kesempatan emas, saya berusaha untuk tidak menyia-nyiakannya.
            Sore hari sepulang dari kantor, saya mendatangi rumah murid istimewa saya itu. Siapa dia? Seorang perempuan dengan gairah belajar yag masih menyala meski usianya 80 tahun! Di usia senja seperti itu, tentu banyak orang yang memilih untuk ‘istirahat’, sekadar menghabiskan sisa-sisa waktu yang dimilikinya, ketimbang capek-capek menguras pikiran dan tenaga untuk mempelajari suatu hal. Tapi nenek yang satu ini memilih yang terakhir. Dengan segala keterbatasannya sebagai lansia, daya ingat yang menurun, uzur dan berkursi roda, dia mau belajar apa yang belum diketahuinya: huruf-huruf Al-Qur’an.
            Mengajar seorang nenek memang berbeda dengan anak muda. Waktu belajarnya harus disesuaikan dengan ritme hidupnya. Terkadang baru 15 menit belajar, sudah harus break. Kalau badannya sedang tidak fit, nenek akan tertidur pulas saat saya sedang serius mengajar. Saya pun tak punya target besar dengan nenek ini. Yang penting dia bisa membaca syahadat, tahu arti dan penghayatannya, sanggup shalat semampunya, itu sudah cukup.
            Nenek belajar dengan metode mendengar, karena pandangannya sudah kabur. Setiap ayat yang saya baca, dia perhatikan dengan cermat lantas ditirunya. Kemudian dia ucapkan berkali-kali sampai dia bisa menghafalnya.
            Tidak sampai dua bulan nenek mampu menghafal bacaan syahadat dan shalat dengan arti dan pemahamannya. Padahal saat belajar banyak breaknya, dan saya juga sering menggunakan waktu belajar untuk menceritakan kisah Nabi dan para sahabat agar dia tidak jenuh. Dari anaknya nenek saya tahu, belajar memang hobi nenek sejak kecil. Tak heran, meski usianya senja, tetapi semangatnya tak kalah dengan anak muda.
            Bagi saya dialah murid yang terbaik. Kesungguhannya belajar, kepatuhannya atas segala arahan—meski disertai dengan segala kekurangannya—mengajarkan saya arti sebuah ketaatan murid terhadap gurunya. Dia juga mau merendahkan egonya untuk belajar dengan saya yang usianya jauh lebih muda dibanding dia. Dia memposisikan saya sebagai guru, dan selalu memanggil saya dengan sebutan “ibu”.
            Satu hal lagi yang saya dapatkan, ternyata tidak selalu guru itu memberi ilmunya kepada murid. Terkadang guru pun belajar dari sang murid, terutama mereka yang sudah banyak merasakan asam garam kehidupan.


Sumber: Haniana, Sentul City, Bogor. (Majalah Ummi, Oktober 2008) 

Minggu, 14 Juni 2015

MASALAH - MASALAH SIFAT KEWARGANEGARAAN ATAU PATRIOTISME DI INDONESIA

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki sejarah yang panjang. Mulai dari era kerajaan, penjajahan sampai kemerdekaan. Tentunya tak mudah untuk mencapai kemerdekaan, perjuangan yang kuatlah yang membawa bangsa ini mewujudkan cita – citanya. Peran serta seluruh rakyat Indonesia tak lepas dalam memperjuangkan dan memperoleh kemerdekaan. Sifat Nasionalisme dan Patriotisme adalah kunci untuk mempersatukan seluruh kalangan masyarakat Indonesia. 

Patriotisme
Patriotisme adalah sikap yang berani, pantang menyerah dan rela berkorban demi bangsa dan negara. Patriotisme berasal dari kata “patriot” dan “isme” yang berarti sifat kepahlawanan atau jiwa pahlawan, atau “heroism” dan “patriotism” dalam bahasa Inggris. Pengorbanan ini dapat berupa pengorbanan harta benda maupun jiwa raga.
Patriotisme juga merupakan suatu kebajikan yang benar-benar fitri (fitrah manusia)
dan mempunyai tempat didalam kehidupan moral manusia. Perasaan taat setia merupakan senjata mental yang cukup kuat untuk mempertahankan negara.
Semangat cinta akan negara, rela berkorban demi bangsa semakin pudar kerana kealpaan kita yang disebabkan kemewahan hidup dan pengaruh budaya dari luar. Oleh itu, rakyat perlu bertanggungjawab untuk memastikan dan mempertahankan kemerdekaan negara terus terpelihara dan kekal untuk selama-lamanya.

Masalah kewarganegaraan diIndonesia
Begitu banyaknya masalah yang ada di negara kita maka dari itu di sini akan mengangkat sebuah topik permasalahan Kewarganegaraan Indonesia,di mana anak yang orangtua beda negara harus memilih negara yang di kehendaki yang sesuai dengan UU yang berlaku. Lebih jelasnya, penduduk Indonesia atau seorang Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang diakui oleh UU sebagai warga negara Republik Indonesia. Kepada orang ini akan diberikan Kartu Tanda Penduduk, berdasarkan Kabupaten atau (khusus DKI Jakarta) Provinsi, tempat ia terdaftar sebagai penduduk/warga. Kepada orang ini akan diberikan nomor identitas yang unik (Nomor Induk Kependudukan, NIK) apabila ia telah berusia 17 tahun dan mencatatkan diri di kantor pemerintahan. Paspor diberikan oleh negara kepada warga negaranya sebagai bukti identitas yang bersangkutan dalam tata hukum internasional. (oleh wikipedia Indonesia). 
Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam UU no. 12 tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Menurut UU ini, orang yang menjadi
Warga Negara Indonesia (WNI) adalah ( dari uu kewarganegaraan 2006.html)
1. setiap orang yang sebelum berlakunya UU tersebut telah menjadi WNI
2. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI
3. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu
warga negara asing (WNA), atau sebaliknya
4. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI dan ayah yang tidak memiliki kewarganegaraan atau hukum negara asal sang ayah tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut
5. anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal
dunia dari perkawinan yang sah, dan ayahnya itu seorang WNI
6. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNI
7. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNA yang diakui oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin
8. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir
tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
9. anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah megara Republik Indonesia
selama ayah dan ibunya tidak diketahui
10. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya
tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya
11. anak yang dilahirkan di luar wilayah Republik Indonesia dari ayah dan ibu WNI, yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan
12. anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.

Di samping perolehan status kewarganegaraan seperti tersebut di atas, dimungkinkan pula perolehan kewarganegaraan Republik Indonesia melalui proses pewarganegaraan. Warga negara asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia dan telah tinggal di wilayah negara Republik Indonesia sedikitnya lima tahun berturut-turut atau sepuluh tahun tidak berturut-turut dapat menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan pejabat yang berwenang, asalkan tidak mengakibatkan kewarganegaraan ganda.

Berbeda dari UU Kewarganegaraan terdahulu, UU Kewarganegaraan tahun 2006 ini memperbolehkan dwikewarganegaraan secara terbatas, yaitu untuk anak yang berusia sampai 18 tahun dan belum kawin sampai usia tersebut. Pengaturan lebih lanjut mengenai hal ini dicantumkan pada Peraturan Pemerintah no. 2 tahun 2007.
Hak dan kewajiban dalam UUD 1945 Hak dan kewajiban warganegara dalam Bab X psl 26, 27, 28, & 30 tentang warga Negara :
Pasal 26 ayat 1 yang menjadi warga Negara adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang- undang sebagai warga Negara pada ayat 2, syarat ±syarat mengenai kewarganegaraan ditetapkan dgn undang-undang. 
Pasal 27 ayat 1 bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukan nya didalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pada ayat 2 disebutkan bahwa tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan 
Pasal 28 disebutkan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dgn lisan dan sebagainya ditetapkan dgn undang- undang. 

Pasal 30 ayat 1 bahwa hak dan kewajiban warga negara untuk ikut serta dalam pembelaan negara dan ayat 2 mengatakan pengaturan lebih lanjut diatur dengan UU.

Asas Ius Soli dan Ius Sangunis 

Salah satu persyaratan diterimanya status sebuah negara adalah adanya unsur warganegara yang diatur menurut ketentuan hukum tertentu, sehingga warga negara yang bersangkutan dapat dibedakan dari warga dari negara lain. Pengaturan mengenai kewarganegaraan ini biasanya ditentukan berdasarkan salah satu dari dua prinsip, yaitu prinsip µius soli atau prinsip µius sanguinis. (oleh Jimly Asshiddiqie)
a. Ius Soli (Menurut Tempat Kelahiran) yaitu; Penentuan status

kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat dimana ia dilahirkan. Seseorang yang dilahirkan di negara A maka ia menjadi warga negara A, walaupun orang tuanya adalah warga negara B. asas ini dianut oleh negara Inggris, Mesir, Amerika dll

b. Ius Sanguinis (Menurut Keturunan/Pertalian Darah) yaitu; Penentuan status kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan dari negara mana seseorang berasal Seseorang yg dilahirkan di negara A, tetapi orang tuanya warga negara B, maka orang tersebut menjadi warga negara B. asas ini dianut oleh negara RRC

Negara Amerika Serikat dan kebanyakan negara di Eropa termasuk menganut prinsip kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini, sehingga siapa saja yang dilahirkan di negara-negara tersebut, secara otomatis diakui sebagai warga negara. Oleh karena itu, sering terjadi warganegara Indonesia yang sedang bermukim di negara-negara di luar negeri, misalnya karena sedang mengikuti pendidikan dan sebagainya, melahirkan anak, maka status anaknya diakui oleh Pemerintah Amerika Serikat sebagai warga negara Amerika Serikat. Padahal kedua orangtuanya berkewarganegaraan Indonesia.

Dalam zaman keterbukaan seperti sekarang ini, kita menyaksikan banyak sekali penduduk suatu negara yang berpergian keluar negeri, baik karena direncanakan dengan sengaja ataupun tidak, dapat saja melahirkan anak-anak di luar negeri. Bahkan dapat pula terjadi, karena alasan pelayanan medis yang lebih baik, orang sengaja melahirkan anak di rumah sakit di luar negeri yang dapat lebih menjamin kesehatan dalam proses persalinan.

Dalam hal, negara tempat asal sesorang dengan negara tempat ia melahirkan atau dilahirkan menganut sistem kewarganegaraan yang sama, tentu tidak akan menimbulkan persoalan. Akan tetapi, apabila kedua negara yang bersangkutan memiliki sistem yang berbeda, maka dapat terjadi keadaan yang menyebabkan seseorang menyandang status dwi-kewarganegaraan (double citizenship) atau sebaliknya malah menjadi tidak berkewarganegaraan sama sekali (stateless).

Berbeda dengan prinsip kelahiran itu, di beberapa negara, dianut prinsip µius sanguinis yang mendasarkan diri pada faktor pertalian seseorang dengan status orangtua yang berhubungan darah dengannya.

Apabila orangtuanya berkewarganegaraan suatu negara, maka otomatis kewarganegaraan anak-anaknya dianggap sama dengan kewarganegaraan orangtuanya itu. Akan tetapi, sekali lagi, dalam dinamika pergaulan antar bangsa yang makin terbuka dewasa ini, kita tidak dapat lagi membatasi pergaulan antar penduduk yang berbeda status kewarganegaraannya.

Sering terjadi perkawinan campuran yang melibatkan status kewarganegaraan yang berbeda-beda antara pasangan suami dan isteri. Terlepas dari perbedaan sistem kewarganegaraan yang dianut oleh masing-masing negara asal pasangan suami-isteri itu, hubungan hukum antara suami-isteri yang melangsungkan perkawinan campuran seperti itu selalu menimbulkan persoalan berkenaan dengan status kewarganegaraan dari putera-puteri mereka.

Oleh karena itulah diadakan pengaturan bahwa status kewarganegaraan itu ditentukan atas dasar kelahiran atau melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan. Dengan cara pertama, status kewarganegaraan seseorang ditentukan karena kelahirannya. Siapa saja yang lahir dalam wilayah hukum suatu negara, terutama yang menganut prinsip µius soli¶ sebagaimana dikemukakan di atas, maka yang bersangkutan secara langsung mendapatkan status kewarganegaraan, kecuali apabila yang bersangkutan ternyata menolak atau mengajukan permohonan sebaliknya.
Cara kedua untuk memperoleh status kewarganegaraan itu ditentukan melalui proses

pewarganegaraan (naturalisasi). Melalui proses pewarganegaraan itu, seseorang dapat mengajukan permohonan kepada instansi yang berwenang, dan kemudian pejabat yang bersangkutan dapat mengabulkan permohonan tersebut dan selanjutnya menetapkan status yang bersangkutan menjadi warganegara yang sah.

Selain kedua cara tersebut, dalam berbagai literature mengenai kewarganegaraan, juga dikenal adanya cara ketiga, yaitu melalui registrasi.Cara ketiga ini dapat disebut tersendiri, karena dalam pengalaman seperti yang terjadi di Perancis yang pernah menjadi bangsa penjajah di berbagai penjuru dunia, banyak warganya yang bermukim di daerah-daerah koloni dan melahirkan anak dengan status kewarganegaraan yang cukup ditentukan dengan cara registrasi saja.

Dari segi tempat kelahiran, anak-anak mereka itu jelas lahir di luar wilayah hukum negara mereka secara resmi. Akan tetapi, karena Perancis, misalnya, menganut prinsip µius soli¶, maka menurut ketentuan yang normal, status kewarganegaraan anak-anak warga Perancis di daerah jajahan ataupun daerah pendudukan tersebut tidak sepenuhnya dapat langsung begitu saja diperlakukan sebagai warga negara Perancis. Akan tetapi, untuk menentukan status kewarganegaraan mereka itu melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan juga tidak dapat diterima. Karena itu, status kewarganegaraan mereka ditentukan melalui proses registrasi biasa. Misalnya, keluarga Indonesia yang berada di Amerika Serikat yang menganut prinsi µius soli, melahirkan anak, maka menurut hukum Amerika Serikat anak tersebut memperoleh status sebagai warga negara AS. Akan tetapi, jika orangtuanya menghendaki anaknya tetap berkewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya cukup melalui registrasi saja.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proses kewarganegaraan itu dapat diperoleh
melalui tiga cara, yaitu:
(i) kewarganegaraan karena kelahiran atau µcitizenship by birth
(ii)kewarganegaraan melalui pewarganegaraan atau µcitizenship by naturalization
(iii) kewarganegaraan melalui registrasi biasa atau µcitizenship by registration

Kesimpulan:
Setelah kita mempelajari ini dapat kita simpulkan bahwa kewarganegaraan merupakan hal penting yang harus diketahui oleh setiap warga negara.Ini dikarenakan bahwa dengan pemahaman kewarganegaraan yang baik maka kehidupan berbangsa dan bernegara akan menjadi tentram dan jelas.

Sumber
https://muhamadsyani.wordpress.com/2011/04/18/pendidikan-kewarganegaraan-patriotisme-nasionalisme/ 
http://laila-oktavia.blogspot.com/2013/03/masalah-kewarganegaraan-di-indonesia.html