Selasa, 26 Maret 2019

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM INDONESIA

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM INDONESIA


A. Masalah Sumber Daya Alam Struktur Penguasaan Sumber Daya Alam

Permasalahan pengelolaan sumber daya alam menjadi sangat penting dalam pembangunan ekonomi pada masa kini dan masa yang akan datang. Di lain pihak, sumber daya alam tersebut telah banyak mengalami kerusakan – kerusakan, terutama berkaitan dengan cara – cara eksploitasinya guna mencapai tujuan bisnis dan ekonomi. Dalam laporan PBB pada awal tahun 2000, umpamanya telah di identifikasi 5 jenis kerusakan ekosistem yang terancam mencapai limitnya, yaitu meliputi Ekosistem Kawasan Pantai dan Sumber Daya Bahari, Ekosistem Lahan Pertanian, Ekosistem Air Tawar, Ekosistem Padang Rumput dan Ekosistem Hutan. Kerusakan – kerusakan sumber daya alam di dalam ekosistem – ekosistem tersebut terjadi terutama karena kekeliruan dalam pengelolaannya sehingga mengalami kerusakan yang disebabkan karena terjadinya perubahan besar, yang mengarah kepada pembangunan ekonomi yang tidak berkelanjutan. Padahal, sumber daya tersebut merupakan pendukung utama bagi kehidupan manusia, dan karenanya menjadi sangat penting kaitannya dengan kegiatan ekonomi dan kehidupan masyarakat manusia yang mengarah kepada kecenderungan pengurasan (depletion) dan degradasi (degradation). Kecenderungan ini baik dilihat dari segi kualitas maupun kuantitasnya dan terjadi di hampir semua kawasan, baik terjadi di Negara – Negara maju maupun negara berkembang.



B. Kebijakan Sumber Daya Alam Struktur Penguasaan Sumber Daya Alam

1) Mengelola SDA dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi.

2) Meningkatkan pemanfaatan potensi SDA dan lingkungan hidup dengan melakukan konservasi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan, dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan.

3) Menerapkan indikator – indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan keterbaharuan dalam pengelolaan SDA yang dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat balik.

4) Mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan SDA secara selektif dan pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga, yang diatur dengan Undang – Undang.

5) Mendayagunakan SDA untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal serta penataan ruang, yang pengusahaannya diatur dengan Undang – Undang.


Arah kebijakan dalam pengelolaan Sumber Daya Alam dalam TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam:

1) Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan Per Undang – Undangan yang berkaitan dengan pengelolaan Sumber Daya Alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor yang berdasarkan prinsip – prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.

2) Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai Sumber Daya Alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas Aumber Daya Alam sebagai potensi dalam Pembangunan Nasional.

3) Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi Sumber Daya Alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional.

4) Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis Sumber Daya Alam dan melakukan upaya – upaya meningkatkan nilai tambah dari produk Sumber Daya Alam tersebut.

5) Menyelesaikan konflik – konflik pemanfaatan Sumber Daya Alam yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip – prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.

6) Menyusun strategi pemanfaatan Sumber Daya Alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan kepentingan dan kondisi daerah maupun nasional.

a) Parameter Kebijakan PSDA Bagi Pembangunan Berkelanjutan

Reformasi pengelolaan SDA sebagai prasyarat bagi terwujudnya pembangunan berkelanjutan dapat dinilai dengan baik apabila terumuskan parameter yang memadai. Secara implementatif, parameter yang dapat dirumuskan diantaranya:

1) Desentralisasi dalam pengelolaan SDA dan lingkungan hidup dengan mengikuti prinsip dan pendekatan ekosistem, bukan administratif.

2) Kontrol sosial masyarakat dengan melalui pengembangan transparansi proses pengambilan keputusan dan peran serta masyarakat . Kontrol sosial ini dapat dimaknai pula sebagai partisipasi dan kedaulatan yang dimiliki (sebagai hak) rakyat. Setiap orang secara sendiri – sendiri maupun berkelompok memiliki hak yang sama dalam proses perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, pengawasan serta evaluasi pada pengelolaan dan pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup.

3) Pendekatan utuh menyeluruh atau komprehensif dalam pengelolaan SDA dan lingkungan hidup. Pada parameter ini, pengelolaan SDA dan lingkungan hidup harus menghilangkan pendekatan sektoral, namun berbasis ekosistem dan memperhatikan keterkaitan dan saling ketergantungan antara factor – factor pembentuk ekosistem dan antara satu ekosistem dengan ekosistem lainnya.

4) Keseimbangan antara eksploitasi dengan konservasi dalam pengelolaan SDA dan lingkungan hidup sehingga tetap terjaga kelestarian dan kualitasnya secara baik.

5) Rasa keadilan bagi rakyat dalam pemanfaatan SDA dan lingkungan hidup. Keadilan ini tidak semata bagi generasi sekarang semata, tetapi juga keadilan untuk generasi mendatang sesudah kita yang memiliki hak atas lingkungan hidup yang baik.

b) Visi Pengelolaan Sumber Daya Alam

“Terwujudnya Lingkungan Hidup yang handal dan proaktif, serta berperan dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, dengan menekankan pada ekonomi hijau”.

c) Misi Pengelolaan Sumber Daya Alam

1) Mewujudkan kebijakan pengelolaan SDA dan lingkungan hidup terintegrasi, guna mendukung tercapainya pembangunan berkelanjutan, dengan menekankan pada ekonomi hijau;

2) Melakukan koordinasi dan kemitraan dalam rantai nilai proses pembangunan untuk mewujudkan integrasi, sinkronisasi antara ekonomi dan ekologi dalam pembangunan berkelanjutan;

3) Mewujudkan pencegahan kerusakan dan pengendalian pencemaran SDA dan lingkungan hidup dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup;

4) Melaksanakan tatakelola pemerintahan yang baik serta mengembangkan kapasitas kelembagaan dalam pengelolaan SDA dan lingkungan hidup secara terintegrasi.

d) Sasaran 

Secara umum, sasaran pembangunan yang ingin dicapai adalah mewujudkan perbaikan fungsi lingkungan hidup dan pengelolaan SDA yang mengarah pada pengaruh utama prinsip pembangunan berkelanjutan. Sasaran khusus yang hendak dicapai adalah:

1) Terkendalinya pencemaran dan kerusakan lingkungan sungai, danau, pesisir dan laut, serta air tanah;

2) Terlindunginya kelestarian fungsi lahan, keanekaragaman hayati dan ekosistem hutan;

3) Membaiknya kualitas udara dan pengelolaan sampah serta limbah bahan berbahaya dan beracun (B3);


C. Dominasi SDA di Indonesia

Indonesia merupakan Negara yang kaya akan Sumber Daya Alamnya. Isi perut bumi negeri ini mengandung minyak, gas alam, batu bara, dan  panas bumi. Keempat hasil bumi tersebut merupakan komoditas utama atau sebagai sumber energi utama yang dapat menggerakkan perekonomian bangsa.Didalam bumi Indonesia juga tersimpan berbagai jenis mineral, emas, perak, nikel, batuan alam, tembaga, timah, bauksit, biji besi, mangan, yang diperlukan umat manusia untuk mengembangkan peradabannya. 

Tanah yang subur membuat Indonesia ditumbuhi berbagai jenis tanaman seperti rempah rempah, kelapa sawit, karet, teh, tebu, kakao, kopi, tembakau, dll. Semua itu merupakan komoditas utama dari perdagangan bahan pangan. Dengan hasil bumi melimpah yang dimiliki, bukan tidak mungkin Indonesia yang  saat ini sebagai Negara Berkembang dapat mejadi Negara Maju. Namun ironisnya, jangankan menjadi Negara yang maju, untuk menikmati hasil bumi sepenuhnya mungkin hanya isapan jempol belaka. Hal tersebut dikarenakan dominasi modal asing terhadap pengelolaan SDA di Indonesia.

Indonesia belum mampu sepenuhnya mengelola kekayaan alamnya, sehingga mengharuskan campur tangan Negara Asing dalam hal pengelolaan SDA Negeri ini. Perusahaan  perusahaan asing berdatangan  untuk menginvestasikan sahamnya di Indonesia. Mereka memiliki tujuan yang sama, yakni mengeruk sebanyak  banyaknya kekayaan alam untuk menopang Industrialisasi  Negara mereka.Dengan melakukan praktek Neo Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim), Negara  Negara Eropa, Jepang, dan  Amerika Serikat dapat mempertahankan dominasinya secara ekonomi dan politiknya hingga saat ini.

a) Dominasi asing sektor tambang

Pertambangan merupakan sumber daya utama sebagai penopang dibidang industri sekaligus sebagai penggerak roda ekonomi sebuah bangsa. Hasil dari pertambangan dan perkebunan dapat memenuhi kebutuhan anggaran belanja Negara. Namun hingga saat ini Indonesia belum bisa mengembangkan industrinya dengan baik. Hasil kekayaan alam yang melimpah masih diekspor dalam bentuk bahan mentah dengan nilai jual yang tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan menjual barang jadi.

 Akibatnya meskipun Indonesia sangat kaya, namun tetap saja rakyatnya tetap hidup dalam garis kemiskinan. Disamping itu, pengelolaan  SDA kebanyakan dilakukan oleh pihak asing. Dengan menanamkan sahamnya, mereka mengeksploitasi kekayaan bumi Indonesia, dan mendapatkan keuntungan yang besar. Sedangkan Indonesia sebagai pemilik lahan hanya mendapatkan beberapa bagian saja, dan masih harus menanggung dampak dari eksploitasi tersebut. 

Sejauh ini kekayaan alam Indonesia diabdikan kepada kepantingan Imperialisme, terutama di sektor tambang dan perkebunan, misalnya tambang emas. Indonesia memiliki banyak sekali tambang emas, salah satunya terletak di Papua yang dikelola oleh  PT.Freeport yang tak lain adalah perusahaan milik Amerika Serikat yang bergerak di bidang produksi tembaga dan emas.

Freeport merupakan penghasil emas dan tembaga terbesar di Indonesia. Mereka melakukan eksploitasi secara besar  besaran di Papua, tanpa memikirkan dampaknya bagi lingkungan. Dengan kandungan emas yang besar di Papua tersebut pemerintah hanya mendapatkan sebagian kecil dari saham.  Hal ini membuat Negara penghasil bahan tambang seperti Indonesia hanya menjadi tempat pengambilan bahan baku saja, sedangkan keuntungan besar dari pertambangan tersebut hanya mengalir kepada pihak asing. Pemerintah hanya bisa menerima saja dan rakyatnya dipaksa pemerintah untuk diam serta pasrah terhadap keadaan yang ada.


Sumber : 
http://renitahln.blogspot.com/2016/05/pengelolaan-sumber-daya-alam-indonesia.html


[Lanjutan] SEJARAH EKONOMI INDONESIA


CITA-CITA EKONOMI MERDEKA
Sistem ekonomi colonial mewariskan struktur ekonomi yang sangat timpang. Struktur ekonomi terkait dengan kekuasaan dan kemampuan ekonomi-politik sehinga mereka yang masuk dalam kelompok atas meskipun jumlahnya sedikit namun menguasai dan menikmati banyak surplus perekonomian nasional. Hal yang berkebalikan menimpa kelompok ekonomi bawah yang jumlahnya mayoritas namun menguasai dan menikmati hasil produksi dalam taraf yang sangat minimal. Gambaran riil perihal struktur ekonomi dapat diilustrasikan melalui hasil observasi Hatta yang memetakan struktur ekonomi Indonesia pada masa colonial Belanda ke dalam tiga golongan besar:
a.      Golongan Atas, yang terdiri dari bangsa Eropa (khususnya Belanda) yang menguasai dan menikmati hasil penjualan komoditi pertanian dan perkebunan di negeri jajahan mereka.
b.      Golongan Menengah, yang 90% terdiri dari kaum perantara perdagangan, khususnya dari etnis Tionghoa (China), yang mendistribusikan hasil-hasil produksi masyarakat jajahan ke perusahaan besar dan ekonomi luaran. Dalam kelompok ini terdapat 10% bangsa Indonesia yang mampu menguasai dan menikmati hasil perekonomian karena mempunyao kekuasaan (jabatan) tertentu (elit), itu pun berada di posisi paling bawah pada lapisan ini.
c.       Golongan Bawah, yang terdiri dari massa rakyat pribumi yang bergerak pada perekonomian rakyat, yang tidak mampu menguasai dan menikmati hasil-hasil produksi mereka karena berada dalam sistem ekonomi kolonialis.

Dalam pandangan para founding fathers, terutama Soekarno-Hatta, merdeka berarti merdeka secara politik dan ekonomi. Untuk itu, pasca kemerdekaan perlu adanya reformasi soaisl, yaitu suatu agenda nasional untuk mengganti sistem ekonomi kolonial dengan sistem ekonomi nasional, guna menghapus pola hubungan ekonomi yang timpang, eksploitatif dan sub-ordinatif terhadap ekonomi rakyat Indonesia dan mengubah struktur sosial-ekonomi warisan colonial yang jauh dari nilai-nilai keadilan sosial tersebut.

“Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu cita-cita demokrasi Indonesia ialah demokrasi sosial, melingkupi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia.” (Hatta, 1960).

Hal itu antara lain disebabkan oleh kesadaran Bung Hatta bahwa perbaikan kondisi ekonomi rakyat tidak mungkin hanya disandarkan pada proklamasi kemerdekaan. Perjuangan untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat harus terus dilanjutkan dengan mengubah struktur ekonomi colonial menjadi struktur ekonomi nasional. Sebagaimana dikemukakan oleh Bung Karno, yang dimaksud dengan struktur ekonomi nasional adalah sebuah struktur perekonomian yang ditandai oleh meningkatnya peran serta rakyat Indonesia dalam penguasaan modal atau faktor-faktor produksi di tanah air.

Reformasi sosial hanya dimungkinkan melalui demokratisasi ekonomi, dimana kolektivitas (kekeluargaan dan kebersamaan) menjadi dasar pola produksi dan distribusi (mode ekonomi). Sebagaimana ditulis Hatta, “Di atas sendi yang ketiga (cita-cita tolong-menolong-pen.) dapat didirikan tonggak demokrasi ekonomi.

Tidak lagi orang seorang atau satu golongan kecil yang mesti menguasai penghidupan orang banyak seperti sekarang, melainkan  keperluan dan kemauan rakyat yang banyak harus menjadi pedoman perusahaan dan penghasilan. Sebab itu, segala tangkai penghasilan besar yang mengenai penghidupan rakyat harus berdasar pada milik bersama dan terletak di bawah penjagaan rakyat dengan perantaraan Badan-Badan perwakilannya.” (Hatta, 1932).

Agenda reformasi sosial berupa demokratisasi ekonomi untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia telah dirumuskan sebagai cita-cita konstitusional yang termaktub dalam filosofi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal 33. Muhammad Hatta merumuskannya dalam sebuah konsep tentang Sistem Ekonomi Indonesia, yaitu Sistem Ekonomi Kerakyatan. Dalam sistem tersebut, semua aktivitas ekonomi harus disatukan dalam organisasi koperasi sebagai bangun usaha yang sesuai dengan asas kekeluargaan. Hanya dalam asas kekeluargaan dapat diwujudkan prinsip demokrasi ekonomi, yaitu produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, sedangkan pengelolaannya dipimpin dan diawasi oleh anggota masyarakat sendiri. Konsep Sistem Ekonomi Kerakyatan inilah yang kemudian dituangkan dalam UUD 1945 sebagai dasar sistem perekonomian nasional.

Pilar Sistem Ekonomi Indonesia yang sejalan dengan agenda reformasi sosial dan kemudian dituangkan dalam UUD 1945 pasal 33 meliputi:
a.      Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan
b.      Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
c.       Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Penjelasan pasal ini menyebutkan bahwa dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, dimana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran per orang. Oleh sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan. Bangun usaha yang sesuai dengan prinsip tersebut adalah koperasi.

Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi; kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh Negara. Kalau tidak, tampuk produksi akan jatuh ke orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya.

Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak, boleh ada di tangan orang-seorang. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Berdasar kutipan penjelasan tersebut maka isi (substansi) demokrasi ekonomi dapat dipetakan menjadi tiga bagian, yaitu “produksi oleh semua”, dan “produksi di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat”.

Perwujudan substansi demokrasi ekonomi tersebut dapat ditemukan pada bagian lain dalam UUD 1945. Konsep “produksi oleh semua” dirumuskan dalam Pasal 27 ayat (2) yang berbunyi “tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Ayat ini mengindikasikan penekanan demokrasi ekonomi pada masalah pengangguran dan peningkatan kesejahteraan sosial tenaga kerja (buruh).
Konsep “produksi untuk semua” dipertegas dalam Pasal 34 yang berbunyi “fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara”. Pasal ini mengindikasikan bahwa penyelenggaraan demokrasi ekonomi juga menekankan perhatian pada pola alokasi dan konsumsi, utamanya yang terkait dengan peningkatan kesejahteraan penduduk miskin. Politik alokasi dilakukan oleh Negara melalui instrument belanja public yang harus mampu memberikan jaminan sosial bagi penduduk miskin dan kelompok rentan (vulnerable) lain seperti halnya anak-anak terlantar di Indonesia.

Konsep “produksi di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat” dapat diwujudkan melalui keberdayaan rakyat banyak yang terhimpun dalam serikat-serikat ekonomi. Pasal 28 yang berbunyi “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang” memberi arahan bagi kebersatuan ekonomi rakyat tersebut. pasal ini mengindikasikan perlunya keberdayaan wadah-wadah perjuangan ekonomi rakyat seperti halnya koperasi dan serikat pekerja dalam penyelenggaraan demokrasi ekonomi di Indonesia.

Peranan anggota-anggota masyarakat dalam penugasan dan control perekonomian hanya dimungkinkan melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat didorong melalui pendidikan. Pasal 31 yang berbunyi “setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan” mengindikasikan pentingnya akses pendidikan, yang juga perlu didukung akses terhadap kesehatan, yang wajib disediakan oleh Negara dalam rangka penyelenggaraan demokrasi ekonomi. Anggota-anggota masyarakat yang terdidik dan sehat akan mampu berpengaruh besar dalam perekonomian nasional.

Penguasaan dan control anggota-anggota masyarakat terhadap faktor produksi diformulasikan melalui peranan Negara yang vital dalam perekonomian, yang tercantum dalam ayat 2 dan 3 pasal 33 UUD 1945. Dalam rangka demokrasi ekonomi maka Negara yang merupakan perwujudan anggota-anggota masyarakat menguasai dan memegang control pengelolaan atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Berdasar cita-cita konstitusional tersebut maka dapat dipahami perlunya peran Negara yang kuat untuk menyusun (mengatur) perekonomian (tatanan, bangun usaha, dan wadah ekonomi) nasional dan dihindarkannya perekonomian nasional yang (kembali) dikuasai bangsa dan korporasi asing (kekuatan pasar bebas). Negara perlu mengarahkan agar bangun usaha ekonomi yang tumbuh berkembang adalah bangun usaha yang bertumpu pada usaha bersama (kolektivitas) dan berasas kekeluargaan (kebersamaan) seperti halnya koperasi, dan bukannya (kembali) bertumpu pada asas perorangan (individual-korporasi) dan persaingan bebas (kapitalistik-liberal).

Berpijak pada dasar hukum itu pula maka Negara berperan vital dalam menguasai dan mengelola cabang (faktor-faktor) produksi dan asset strategis nasional yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak yang pengelolaannya dilakukan melalui keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Peranan swasta dimungkinkan sebatas pada aktivitas ekonomi yang faktor produksinya tidak berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Hal ini karena sesuai dengan amanat konstitusi (penjelasan pasal 33) bahwa jika tampuk produksi jatuh ke tangan orang per orang, maka rakyat yang banyak akan ditindasinya. Persis akan terjadi kembali seperti pada era sistem ekonomi colonial dimana ekonomi rakyat ditindasi pemerintah dan korporasi asing (kolonial).


Sumber : (Pinjam di Perpustakaan)

Santosa, Awan. 2013. Perekonomian Indonesia Masalah, Potensi dan Alternatif Solusi. Yogyakarta : Graha Ilmu






SEJARAH EKONOMI INDONESIA


SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA
SEJARAH PRA-KOLONIALISME
Profesor Arysio seorang geology nuklir dari Brasil dalam riset oceanografi, etnografi, geologi, dam vulkanologi-nya selama 30 tahun untuk menemukan sebuah tempat yang dikenal sebagai Atlantis, tempat asal mula peradaban dunia, berkesimpulan bahwa tempat itu tidak lain dan tidak bukan adalah bumi yang saat ini kita pijak dan diami, yaitu Indonesia. Penemuan ini diperkuat Openheimer dalam yang menyebut Indonesia sebagai “eden from east”, surge dari timur, karena kemajuan dan keelokannya yang luar biasa.

Jauh sebelum bangsa Eropa dan Amerika berlayar mengarungi samuera Pasifik dan Atlantik disebutkan bahwa nenek moyang kita, bangsa Indonesia, sudah menempuh perjalanan berat dan hebat sampai ke Afrika. Hal ini dibuktikan dengan penemuan berbagai situs peninggalan di beberapa wilayah di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dimana terdapat kemiripan dengan situs-situs yang terdapat di Negara-negara tersebut. pada fase selanjutnya kita mengenal masa kejayaan kerajaan Sriwijaya, Samudera Pasai, dan Majapahit yang sudah berhubungan dagang dengan banyak bangsa lain di berbagai belahan dunia.

Persinggungan sosial, ekonomi, agama, dan budaya dengan para pedagang Arab yang membawakan pula ajaran agama Islam telah turut memajukan kegiatan di sector perniagaan dan pelayaran. Pasar-pasar sebagai tempat berdagang dan syiar mulai bermunculan menjadi tempat pertukaran antar penduduk yang umumnya bermukim di wilayah pesisir pantai. Perkembangannya kemudian mendorong berkembangnya Kesultanan yang menjadi kekuatan politik baru di Pulau Jawa, Sumatera, dan Maluku.

Sebuah perubahan politik ekonomi terjadi ketika pada tahun-tahun berikutnya datang para petualang dan pedagang besar dari Spanyol, Portugis, dan Belanda. Dengan kekuatan politik, bisnis, dan militernya mereka menguasai perekonomian nusantara, melalui monopoli perdagangan dan penguasaan komoditi, pasar, dan tenaga kerja Indonesia. Dimulailah era baru kolonialisme ekonomi yang meliputi hampir seluruh wilayah nusantara. Dalam kurun waktu panjang kolonialisme ekonomi mengalami berbagai perubahan mode (sistem), yang selalu disertai dengan perlawanan tiada henti oleh para pahlawan bangsa.

Sejarah ekonomi bangsa Indonesia pasca kejayaan kerajaan nusantara tersebut kemudian lekat dengan eksploitasi dan sub-ordinasi oleh bangsa lain. keluar dari hisapan kongsi dagang monopolis VOC, ekonomi rakyat Indonesia dijerat sistem tanam paksa (culturstelsel-1830) yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda untuk memenuhi kebutuhan komoditi mereka (Eropa). 40 tahun kemudian (1870), giliran perusahaan swasta Belanda yang menguasai perkebnan kita melalui pemaksaan sistem kapitalis-liberal. Indonesia diperlakuka sebagai ondernaming besar dan penyedia buruh murah bagi pasar luar negeri.

Ekonomi rakyat (pribumi) tetap sebagai korban keserakahan kolonialis hingga merdeka tahun 1945. Paparan fase-fase kolonialisme Indonesia disampaikan Profesor Mubyarto terbagi dalam tiga fase; sistem monopoli VOC, sistem tanam paksa, dan sistem kapitalis-liberal.

SISTEM MONOPOLI VOC
Profesor Mubyarto menyebutkan bahwa pada 200 tahun pertama masa kolonialisme (1600-1800), persatuan Pedagang Belanda (VOC) menerapkan sistem monopoli (monopsony) dalam membeli komoditi-komoditi perdagangan seperti rempah-rempah (lada dan pala, cengkeh, kopi dan gula), sehingga harganya tertekan karena ditetapkan sepihak oleh VOC. Meskipun VOC bukan pemerintah penjajah Belanda, tetapi petani Indonesia juga merasa VOC mempunyai kekuasaan dan daya-paksa seperti pemerintah karena VOC juga mempunyai aparat “pemerintahan”, bahkan memiliki tentara. Itulah sebabnya Companie diucapkan orang Indonesia sebagai kumpeni yang tidak lain berarti “tentara” yang dapat memaksa-maksa petani menyerahkan komoditi perdagangannya yang “dipaksa beli” oleh VOC.

Selanjutnya setelah VOC bubar (bangkrut tahun 1799), pemerintah penjajah Belanda tidak segera menemukan cara-cara tepat unutk mengeksploitasi Indonesia, bahkan pemerintah ini terhenti sementara (1811-1816) karena penugasan atas Indonesia diambil alih oleh Inggris pada saat Belanda di duduki Jerman, dan pemerintah Belanda mengungsi ke Inggris. Letnan Gubernur Thomas Robert Raffles memperkenalkan sistem sewa tanah untuk mengefisienkan tanah jajahan. Sistem sewa tanah ini tidak segera diambil alih pemerintah penjajah Belanda setelah Indonesia (Hindia Belanda) diserahkan kembali kepada Belanda.

SISTEM TANAM PAKSA
Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut karena terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro 1825-1830), dan Perang Paderi di Sumatera Barat (1821-1837), Gubernur Jendral Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Culture Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup deficit anggaran pemerintah penjajahan yang besar. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam disbanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan Negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya pada harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Maka tidak ada perkembangan yang bebas dari sistem pasar.

Selain itu kehidupan rakyat kecil (ekonomi rakyat) makin berat karena penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 73 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak. Produksi pangan rakyat merosot dan timbul kelaparan di berbagai tempat di Jawa. Tanam paksa adalah sistem ekonomi yang merupakan noda hitam bagi sejarah penjajahan Belanda di Indonesia, meskipun bagi pemerintah Belanda dianggap berhasil karena memberikan sumbangan besar bagi kas pemerintah. Selama sistem tanam paksa kas pemerintah jajahan Belanda mengalami surplus (batig slot). Sistem tanam paksa yang kejam ini stelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda di hapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915.

SISTEM EKONOMI KAPITALIS LIBERAL
Sistem ekonomi ke-3 dan terakhir pada jaman penjajahan yang berlangsung sampai Indonesia merdeka adalah sistem ekonomi kapitalis liberal, yang pelaku penentu utamanya bukan lagi pemerintah tetapi pengusaha swasta, sedangkan pemerintah sekedar sebagai penjaga dan pengawas melalui peraturan-peraturan perundang-undangan. Undang-Undang pertama yang menandai sistem baru ini adalah UU Agraria tahun 1870, yang memperbolehkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta menyewa lahan-lahan yang luas untuk jangka waktu sampai 75-99 tahun, untuk ditanami tanaman keras seperti karet, the, kopi, kelapa sawit, atau untuk tanaman semusim seperti tebu dan tambakau.

Table-tabel dibawah ini menggambarkan produksi gula, minyak, karet, kopi, tembakau, kopra, dan komoditi lainnya yang di eksploitasi oleh pihak colonial dari kurun waktu tahun 1870 sampai dengan 1940.

Tabel 1.1 Surplus Komoditi Indonesia

1840 - 1844
1845 - 1849
Coffee
40.278
24.549
Sugar
8.218
4.136
Indigo
7.836
7.726
Pepper, Tea
647
1.725
Total Net Profits
39.341
35.057

Pada saat tanaman-tanaman perdagangan ini mulai dikembangkan, di beberapa daerah rakyat sudah lebih dulu menanaminya, sehingga terjadi persaingan antara perkebunan-perkebunan besar dengan perkebunan-perkebunan rakyat. Dalam persaingan antara dua sub-sistem perkebunan inilah mulai muncul masalah peranan yang tepat dan adil dari pemerintah. Di satu pihak pemerintah ingin agar perusahaan-perusahaan besar memperoleh untung besar sehingga pemerintah mendapat bagian keuntungan berupa pajak-pajak perseroan atau pajak pendapatan dari staf dan karyawan.

Tetapi di pihak lain penduduk pribumi yaitu pekebun-pekebun kecil (perkebunan rakyat) yang sebelumnya sudah mengembangkan tanaman-tanaman ini “tidak boleh dirugikan” terutama dalam pemasaran hasilnya. Terutama dalam produksi dan pemasaran karet persaingan segera timbul, dan pemerintah yang tentunya berkepentingan meningkatkan kemakmuran rakyat tidak boleh membiarkan merosotnya kemakmuran rakyat ini, sehingga harus terus menerus mengawasi hubungan antara keduanya. Misalnya pada saat harga karet jatuh pada awal tahun 1920-an ada usulan pembatasan produksi karet (Stevensen Restriction Scheme) dari pemerintah penjajahan Inggris di Malaya yang tidak disambut baik oleh pemerintah Hindia Belanda. Perkebunan karet rakyat memiliki daya tahan jauh lebih kuat menghadapi krisis ketimbang perusahaan-perusahaan perkebunan besar.

Table dibawah menggambarkan penerimaan perusahaan swasta besar kolonialis yang mengeksploitasi dan menjual berbagai komoditi ekspor ke pasaran Eropa dari tahun 1831-1870.

Tabel 1.2 Surplus Perusahaan Swasta Besar Kolonial

1831/40
1841/50
1851/60
1861/70
Gross revenues of sale of colonial products
227.0
473.9
652.7
641.8
Costs of transport etc (NHM)
88.0
165.4
138.7
114.7
Sum of expenses
59.2
175.1
275.3
276.6
Total net profits
150.6
215.6
289.4
276.7

ERA PENDUDUKAN JEPANG
Pada zaman pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan, ekonomi rakyat makin berkembang dengan pemasaran dalam negeri yang makin luas ditambah pasar luar negeri yang ditinggalkan perkebunan-perkebunan besar yang mulai mundur. Dan dalam hal komoditi tebu di Jawa tanaman tebu rakyat mulai berperan besar menyumbang pada produksi gula merah (gula mangkok) baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Pada tahun 1975 pemerintah yang mulai pusing mengelola industry gula di Jawa membuat putusan mengagetkan dengan Inpres No. 9/1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang melarang pabrik-pabrik gula (pemerintah maupun swasta) menyewa lahan milik petani.

Semua tanah sawah dan tanah kering harus ditanami tebu rakyat karena tanaman rakyat dianggap lebih unggul khususnya secara ekonomis disbanding tanaman perkebunan besar/pabrik, dan yang paling penting pemerintah ingin menghilangkan konflik-konflik yang selalu terjadi antara pabrik-pabrik gula dan rakyat pemilik tanah. Kebijaksanaan TRI ini gagal total karena mengabaikan kenyataan pemilikan tanah rakyat yang sudah sangat sempit, yang mempunyai pilihan (alternative) untuk ditanami padi.

Karena tebu sebagai bahan baku untuk gula harganya ditetapkan pemerintah, sedangkan untuk padi tidak, maka dimana pun petani memilih menanam padi. Akibatnya tujuan untuk menaikkan produksi dan produktivitas tebu tidak tercapai (produksi gula merosot), dan Inpres TRI ini dicabut pada tahun 1998 setelah sangat terlambat, dan membuat kerusakan besar pada industry gula di Jawa. Dewasa ini industry gula di Jawa termasuk salah satu industry yang paling sakit di Indonesia.


Sumber: (Pinjam di Perpustakaan)

Santosa, Awan. 2013. Perekonomian Indonesia Masalah, Potensi dan Alternatif Solusi. Yogyakarta : Graha Ilmu