Selasa, 26 Maret 2019

[Lanjutan] SEJARAH EKONOMI INDONESIA


CITA-CITA EKONOMI MERDEKA
Sistem ekonomi colonial mewariskan struktur ekonomi yang sangat timpang. Struktur ekonomi terkait dengan kekuasaan dan kemampuan ekonomi-politik sehinga mereka yang masuk dalam kelompok atas meskipun jumlahnya sedikit namun menguasai dan menikmati banyak surplus perekonomian nasional. Hal yang berkebalikan menimpa kelompok ekonomi bawah yang jumlahnya mayoritas namun menguasai dan menikmati hasil produksi dalam taraf yang sangat minimal. Gambaran riil perihal struktur ekonomi dapat diilustrasikan melalui hasil observasi Hatta yang memetakan struktur ekonomi Indonesia pada masa colonial Belanda ke dalam tiga golongan besar:
a.      Golongan Atas, yang terdiri dari bangsa Eropa (khususnya Belanda) yang menguasai dan menikmati hasil penjualan komoditi pertanian dan perkebunan di negeri jajahan mereka.
b.      Golongan Menengah, yang 90% terdiri dari kaum perantara perdagangan, khususnya dari etnis Tionghoa (China), yang mendistribusikan hasil-hasil produksi masyarakat jajahan ke perusahaan besar dan ekonomi luaran. Dalam kelompok ini terdapat 10% bangsa Indonesia yang mampu menguasai dan menikmati hasil perekonomian karena mempunyao kekuasaan (jabatan) tertentu (elit), itu pun berada di posisi paling bawah pada lapisan ini.
c.       Golongan Bawah, yang terdiri dari massa rakyat pribumi yang bergerak pada perekonomian rakyat, yang tidak mampu menguasai dan menikmati hasil-hasil produksi mereka karena berada dalam sistem ekonomi kolonialis.

Dalam pandangan para founding fathers, terutama Soekarno-Hatta, merdeka berarti merdeka secara politik dan ekonomi. Untuk itu, pasca kemerdekaan perlu adanya reformasi soaisl, yaitu suatu agenda nasional untuk mengganti sistem ekonomi kolonial dengan sistem ekonomi nasional, guna menghapus pola hubungan ekonomi yang timpang, eksploitatif dan sub-ordinatif terhadap ekonomi rakyat Indonesia dan mengubah struktur sosial-ekonomi warisan colonial yang jauh dari nilai-nilai keadilan sosial tersebut.

“Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu cita-cita demokrasi Indonesia ialah demokrasi sosial, melingkupi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia.” (Hatta, 1960).

Hal itu antara lain disebabkan oleh kesadaran Bung Hatta bahwa perbaikan kondisi ekonomi rakyat tidak mungkin hanya disandarkan pada proklamasi kemerdekaan. Perjuangan untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat harus terus dilanjutkan dengan mengubah struktur ekonomi colonial menjadi struktur ekonomi nasional. Sebagaimana dikemukakan oleh Bung Karno, yang dimaksud dengan struktur ekonomi nasional adalah sebuah struktur perekonomian yang ditandai oleh meningkatnya peran serta rakyat Indonesia dalam penguasaan modal atau faktor-faktor produksi di tanah air.

Reformasi sosial hanya dimungkinkan melalui demokratisasi ekonomi, dimana kolektivitas (kekeluargaan dan kebersamaan) menjadi dasar pola produksi dan distribusi (mode ekonomi). Sebagaimana ditulis Hatta, “Di atas sendi yang ketiga (cita-cita tolong-menolong-pen.) dapat didirikan tonggak demokrasi ekonomi.

Tidak lagi orang seorang atau satu golongan kecil yang mesti menguasai penghidupan orang banyak seperti sekarang, melainkan  keperluan dan kemauan rakyat yang banyak harus menjadi pedoman perusahaan dan penghasilan. Sebab itu, segala tangkai penghasilan besar yang mengenai penghidupan rakyat harus berdasar pada milik bersama dan terletak di bawah penjagaan rakyat dengan perantaraan Badan-Badan perwakilannya.” (Hatta, 1932).

Agenda reformasi sosial berupa demokratisasi ekonomi untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia telah dirumuskan sebagai cita-cita konstitusional yang termaktub dalam filosofi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal 33. Muhammad Hatta merumuskannya dalam sebuah konsep tentang Sistem Ekonomi Indonesia, yaitu Sistem Ekonomi Kerakyatan. Dalam sistem tersebut, semua aktivitas ekonomi harus disatukan dalam organisasi koperasi sebagai bangun usaha yang sesuai dengan asas kekeluargaan. Hanya dalam asas kekeluargaan dapat diwujudkan prinsip demokrasi ekonomi, yaitu produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, sedangkan pengelolaannya dipimpin dan diawasi oleh anggota masyarakat sendiri. Konsep Sistem Ekonomi Kerakyatan inilah yang kemudian dituangkan dalam UUD 1945 sebagai dasar sistem perekonomian nasional.

Pilar Sistem Ekonomi Indonesia yang sejalan dengan agenda reformasi sosial dan kemudian dituangkan dalam UUD 1945 pasal 33 meliputi:
a.      Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan
b.      Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
c.       Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Penjelasan pasal ini menyebutkan bahwa dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, dimana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran per orang. Oleh sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan. Bangun usaha yang sesuai dengan prinsip tersebut adalah koperasi.

Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi; kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh Negara. Kalau tidak, tampuk produksi akan jatuh ke orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya.

Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak, boleh ada di tangan orang-seorang. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Berdasar kutipan penjelasan tersebut maka isi (substansi) demokrasi ekonomi dapat dipetakan menjadi tiga bagian, yaitu “produksi oleh semua”, dan “produksi di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat”.

Perwujudan substansi demokrasi ekonomi tersebut dapat ditemukan pada bagian lain dalam UUD 1945. Konsep “produksi oleh semua” dirumuskan dalam Pasal 27 ayat (2) yang berbunyi “tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Ayat ini mengindikasikan penekanan demokrasi ekonomi pada masalah pengangguran dan peningkatan kesejahteraan sosial tenaga kerja (buruh).
Konsep “produksi untuk semua” dipertegas dalam Pasal 34 yang berbunyi “fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara”. Pasal ini mengindikasikan bahwa penyelenggaraan demokrasi ekonomi juga menekankan perhatian pada pola alokasi dan konsumsi, utamanya yang terkait dengan peningkatan kesejahteraan penduduk miskin. Politik alokasi dilakukan oleh Negara melalui instrument belanja public yang harus mampu memberikan jaminan sosial bagi penduduk miskin dan kelompok rentan (vulnerable) lain seperti halnya anak-anak terlantar di Indonesia.

Konsep “produksi di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat” dapat diwujudkan melalui keberdayaan rakyat banyak yang terhimpun dalam serikat-serikat ekonomi. Pasal 28 yang berbunyi “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang” memberi arahan bagi kebersatuan ekonomi rakyat tersebut. pasal ini mengindikasikan perlunya keberdayaan wadah-wadah perjuangan ekonomi rakyat seperti halnya koperasi dan serikat pekerja dalam penyelenggaraan demokrasi ekonomi di Indonesia.

Peranan anggota-anggota masyarakat dalam penugasan dan control perekonomian hanya dimungkinkan melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat didorong melalui pendidikan. Pasal 31 yang berbunyi “setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan” mengindikasikan pentingnya akses pendidikan, yang juga perlu didukung akses terhadap kesehatan, yang wajib disediakan oleh Negara dalam rangka penyelenggaraan demokrasi ekonomi. Anggota-anggota masyarakat yang terdidik dan sehat akan mampu berpengaruh besar dalam perekonomian nasional.

Penguasaan dan control anggota-anggota masyarakat terhadap faktor produksi diformulasikan melalui peranan Negara yang vital dalam perekonomian, yang tercantum dalam ayat 2 dan 3 pasal 33 UUD 1945. Dalam rangka demokrasi ekonomi maka Negara yang merupakan perwujudan anggota-anggota masyarakat menguasai dan memegang control pengelolaan atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Berdasar cita-cita konstitusional tersebut maka dapat dipahami perlunya peran Negara yang kuat untuk menyusun (mengatur) perekonomian (tatanan, bangun usaha, dan wadah ekonomi) nasional dan dihindarkannya perekonomian nasional yang (kembali) dikuasai bangsa dan korporasi asing (kekuatan pasar bebas). Negara perlu mengarahkan agar bangun usaha ekonomi yang tumbuh berkembang adalah bangun usaha yang bertumpu pada usaha bersama (kolektivitas) dan berasas kekeluargaan (kebersamaan) seperti halnya koperasi, dan bukannya (kembali) bertumpu pada asas perorangan (individual-korporasi) dan persaingan bebas (kapitalistik-liberal).

Berpijak pada dasar hukum itu pula maka Negara berperan vital dalam menguasai dan mengelola cabang (faktor-faktor) produksi dan asset strategis nasional yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak yang pengelolaannya dilakukan melalui keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Peranan swasta dimungkinkan sebatas pada aktivitas ekonomi yang faktor produksinya tidak berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Hal ini karena sesuai dengan amanat konstitusi (penjelasan pasal 33) bahwa jika tampuk produksi jatuh ke tangan orang per orang, maka rakyat yang banyak akan ditindasinya. Persis akan terjadi kembali seperti pada era sistem ekonomi colonial dimana ekonomi rakyat ditindasi pemerintah dan korporasi asing (kolonial).


Sumber : (Pinjam di Perpustakaan)

Santosa, Awan. 2013. Perekonomian Indonesia Masalah, Potensi dan Alternatif Solusi. Yogyakarta : Graha Ilmu






Tidak ada komentar:

Posting Komentar