CITA-CITA EKONOMI MERDEKA
Sistem ekonomi colonial mewariskan
struktur ekonomi yang sangat timpang. Struktur ekonomi terkait dengan kekuasaan
dan kemampuan ekonomi-politik sehinga mereka yang masuk dalam kelompok atas
meskipun jumlahnya sedikit namun menguasai dan menikmati banyak surplus
perekonomian nasional. Hal yang berkebalikan menimpa kelompok ekonomi bawah
yang jumlahnya mayoritas namun menguasai dan menikmati hasil produksi dalam
taraf yang sangat minimal. Gambaran riil perihal struktur ekonomi dapat
diilustrasikan melalui hasil observasi Hatta yang memetakan struktur ekonomi
Indonesia pada masa colonial Belanda ke dalam tiga golongan besar:
a. Golongan
Atas, yang terdiri dari bangsa Eropa (khususnya Belanda) yang menguasai dan
menikmati hasil penjualan komoditi pertanian dan perkebunan di negeri jajahan
mereka.
b. Golongan
Menengah, yang 90% terdiri dari kaum perantara perdagangan, khususnya dari
etnis Tionghoa (China), yang mendistribusikan hasil-hasil produksi masyarakat
jajahan ke perusahaan besar dan ekonomi luaran. Dalam kelompok ini terdapat 10%
bangsa Indonesia yang mampu menguasai dan menikmati hasil perekonomian karena
mempunyao kekuasaan (jabatan) tertentu (elit), itu pun berada di posisi paling
bawah pada lapisan ini.
c. Golongan
Bawah, yang terdiri dari massa rakyat pribumi yang bergerak pada perekonomian
rakyat, yang tidak mampu menguasai dan menikmati hasil-hasil produksi mereka karena
berada dalam sistem ekonomi kolonialis.
Dalam pandangan para founding fathers, terutama
Soekarno-Hatta, merdeka berarti merdeka secara politik dan ekonomi. Untuk itu,
pasca kemerdekaan perlu adanya reformasi soaisl, yaitu suatu agenda nasional
untuk mengganti sistem ekonomi kolonial dengan sistem ekonomi nasional, guna
menghapus pola hubungan ekonomi yang timpang, eksploitatif dan sub-ordinatif
terhadap ekonomi rakyat Indonesia dan mengubah struktur sosial-ekonomi warisan
colonial yang jauh dari nilai-nilai keadilan sosial tersebut.
“Demokrasi politik saja tidak dapat
melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus
pula berlaku demokrasi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan
persaudaraan belum ada. Sebab itu cita-cita demokrasi Indonesia ialah demokrasi
sosial, melingkupi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia.”
(Hatta, 1960).
Hal itu antara lain disebabkan oleh
kesadaran Bung Hatta bahwa perbaikan kondisi ekonomi rakyat tidak mungkin hanya
disandarkan pada proklamasi kemerdekaan. Perjuangan untuk memperbaiki kondisi
ekonomi rakyat harus terus dilanjutkan dengan mengubah struktur ekonomi
colonial menjadi struktur ekonomi nasional. Sebagaimana dikemukakan oleh Bung
Karno, yang dimaksud dengan struktur ekonomi nasional adalah sebuah struktur
perekonomian yang ditandai oleh meningkatnya peran serta rakyat Indonesia dalam
penguasaan modal atau faktor-faktor produksi di tanah air.
Reformasi sosial hanya dimungkinkan
melalui demokratisasi ekonomi, dimana kolektivitas (kekeluargaan dan
kebersamaan) menjadi dasar pola produksi dan distribusi (mode ekonomi).
Sebagaimana ditulis Hatta, “Di atas sendi yang ketiga (cita-cita
tolong-menolong-pen.) dapat didirikan
tonggak demokrasi ekonomi.
Tidak lagi orang seorang atau satu
golongan kecil yang mesti menguasai penghidupan orang banyak seperti sekarang,
melainkan keperluan dan kemauan rakyat
yang banyak harus menjadi pedoman perusahaan dan penghasilan. Sebab itu, segala
tangkai penghasilan besar yang mengenai penghidupan rakyat harus berdasar pada
milik bersama dan terletak di bawah penjagaan rakyat dengan perantaraan
Badan-Badan perwakilannya.” (Hatta, 1932).
Agenda reformasi sosial berupa
demokratisasi ekonomi untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia telah dirumuskan sebagai cita-cita konstitusional yang termaktub
dalam filosofi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal 33.
Muhammad Hatta merumuskannya dalam sebuah konsep tentang Sistem Ekonomi
Indonesia, yaitu Sistem Ekonomi Kerakyatan. Dalam sistem tersebut, semua
aktivitas ekonomi harus disatukan dalam organisasi koperasi sebagai bangun
usaha yang sesuai dengan asas kekeluargaan. Hanya dalam asas kekeluargaan dapat
diwujudkan prinsip demokrasi ekonomi, yaitu produksi dikerjakan oleh semua,
untuk semua, sedangkan pengelolaannya dipimpin dan diawasi oleh anggota
masyarakat sendiri. Konsep Sistem Ekonomi Kerakyatan inilah yang kemudian
dituangkan dalam UUD 1945 sebagai dasar sistem perekonomian nasional.
Pilar Sistem Ekonomi Indonesia yang
sejalan dengan agenda reformasi sosial dan kemudian dituangkan dalam UUD 1945
pasal 33 meliputi:
a. Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan
b. Cabang-cabang
produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh Negara.
c. Bumi dan
air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Penjelasan pasal ini menyebutkan
bahwa dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, dimana produksi
dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan
anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan
kemakmuran per orang. Oleh sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama
atas asas kekeluargaan. Bangun usaha yang sesuai dengan prinsip tersebut adalah
koperasi.
Perekonomian berdasar atas
demokrasi ekonomi; kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang produksi yang
penting bagi Negara dan menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh
Negara. Kalau tidak, tampuk produksi akan jatuh ke orang-seorang yang berkuasa
dan rakyat yang banyak ditindasinya.
Hanya perusahaan yang tidak
menguasai hajat hidup orang banyak, boleh ada di tangan orang-seorang. Bumi,
air, dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran
rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Berdasar kutipan penjelasan
tersebut maka isi (substansi) demokrasi ekonomi dapat dipetakan menjadi tiga
bagian, yaitu “produksi oleh semua”, dan “produksi di bawah pimpinan dan atau
penilikan anggota-anggota masyarakat”.
Perwujudan substansi demokrasi
ekonomi tersebut dapat ditemukan pada bagian lain dalam UUD 1945. Konsep
“produksi oleh semua” dirumuskan dalam Pasal 27 ayat (2) yang berbunyi
“tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”. Ayat ini mengindikasikan penekanan demokrasi ekonomi pada masalah
pengangguran dan peningkatan kesejahteraan sosial tenaga kerja (buruh).
Konsep “produksi untuk semua”
dipertegas dalam Pasal 34 yang berbunyi “fakir miskin dan anak-anak yang
terlantar dipelihara oleh Negara”. Pasal ini mengindikasikan bahwa
penyelenggaraan demokrasi ekonomi juga menekankan perhatian pada pola alokasi
dan konsumsi, utamanya yang terkait dengan peningkatan kesejahteraan penduduk
miskin. Politik alokasi dilakukan oleh Negara melalui instrument belanja public
yang harus mampu memberikan jaminan sosial bagi penduduk miskin dan kelompok rentan
(vulnerable) lain seperti halnya
anak-anak terlantar di Indonesia.
Konsep “produksi di bawah pimpinan
dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat” dapat diwujudkan melalui
keberdayaan rakyat banyak yang terhimpun dalam serikat-serikat ekonomi. Pasal
28 yang berbunyi “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang”
memberi arahan bagi kebersatuan ekonomi rakyat tersebut. pasal ini
mengindikasikan perlunya keberdayaan wadah-wadah perjuangan ekonomi rakyat
seperti halnya koperasi dan serikat pekerja dalam penyelenggaraan demokrasi
ekonomi di Indonesia.
Peranan anggota-anggota masyarakat
dalam penugasan dan control perekonomian hanya dimungkinkan melalui penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat didorong melalui pendidikan. Pasal 31
yang berbunyi “setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan”
mengindikasikan pentingnya akses pendidikan, yang juga perlu didukung akses
terhadap kesehatan, yang wajib disediakan oleh Negara dalam rangka
penyelenggaraan demokrasi ekonomi. Anggota-anggota masyarakat yang terdidik dan
sehat akan mampu berpengaruh besar dalam perekonomian nasional.
Penguasaan dan control
anggota-anggota masyarakat terhadap faktor produksi diformulasikan melalui
peranan Negara yang vital dalam perekonomian, yang tercantum dalam ayat 2 dan 3
pasal 33 UUD 1945. Dalam rangka demokrasi ekonomi maka Negara yang merupakan
perwujudan anggota-anggota masyarakat menguasai dan memegang control
pengelolaan atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup
orang banyak dan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Berdasar cita-cita konstitusional
tersebut maka dapat dipahami perlunya peran Negara yang kuat untuk menyusun
(mengatur) perekonomian (tatanan, bangun usaha, dan wadah ekonomi) nasional dan
dihindarkannya perekonomian nasional yang (kembali) dikuasai bangsa dan
korporasi asing (kekuatan pasar bebas). Negara perlu mengarahkan agar bangun
usaha ekonomi yang tumbuh berkembang adalah bangun usaha yang bertumpu pada
usaha bersama (kolektivitas) dan berasas kekeluargaan (kebersamaan) seperti
halnya koperasi, dan bukannya (kembali) bertumpu pada asas perorangan
(individual-korporasi) dan persaingan bebas (kapitalistik-liberal).
Berpijak pada dasar hukum itu pula
maka Negara berperan vital dalam menguasai dan mengelola cabang (faktor-faktor)
produksi dan asset strategis nasional yang penting dan menguasai hajat hidup
orang banyak yang pengelolaannya dilakukan melalui keberadaan Badan Usaha Milik
Negara (BUMN). Peranan swasta dimungkinkan sebatas pada aktivitas ekonomi yang
faktor produksinya tidak berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Hal ini
karena sesuai dengan amanat konstitusi (penjelasan pasal 33) bahwa jika tampuk
produksi jatuh ke tangan orang per orang, maka rakyat yang banyak akan
ditindasinya. Persis akan terjadi kembali seperti pada era sistem ekonomi
colonial dimana ekonomi rakyat ditindasi pemerintah dan korporasi asing
(kolonial).
Sumber : (Pinjam di Perpustakaan)
Santosa, Awan. 2013. Perekonomian Indonesia Masalah, Potensi dan Alternatif Solusi. Yogyakarta : Graha Ilmu
Sumber : (Pinjam di Perpustakaan)
Santosa, Awan. 2013. Perekonomian Indonesia Masalah, Potensi dan Alternatif Solusi. Yogyakarta : Graha Ilmu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar