Selasa, 26 Maret 2019

SEJARAH EKONOMI INDONESIA


SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA
SEJARAH PRA-KOLONIALISME
Profesor Arysio seorang geology nuklir dari Brasil dalam riset oceanografi, etnografi, geologi, dam vulkanologi-nya selama 30 tahun untuk menemukan sebuah tempat yang dikenal sebagai Atlantis, tempat asal mula peradaban dunia, berkesimpulan bahwa tempat itu tidak lain dan tidak bukan adalah bumi yang saat ini kita pijak dan diami, yaitu Indonesia. Penemuan ini diperkuat Openheimer dalam yang menyebut Indonesia sebagai “eden from east”, surge dari timur, karena kemajuan dan keelokannya yang luar biasa.

Jauh sebelum bangsa Eropa dan Amerika berlayar mengarungi samuera Pasifik dan Atlantik disebutkan bahwa nenek moyang kita, bangsa Indonesia, sudah menempuh perjalanan berat dan hebat sampai ke Afrika. Hal ini dibuktikan dengan penemuan berbagai situs peninggalan di beberapa wilayah di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dimana terdapat kemiripan dengan situs-situs yang terdapat di Negara-negara tersebut. pada fase selanjutnya kita mengenal masa kejayaan kerajaan Sriwijaya, Samudera Pasai, dan Majapahit yang sudah berhubungan dagang dengan banyak bangsa lain di berbagai belahan dunia.

Persinggungan sosial, ekonomi, agama, dan budaya dengan para pedagang Arab yang membawakan pula ajaran agama Islam telah turut memajukan kegiatan di sector perniagaan dan pelayaran. Pasar-pasar sebagai tempat berdagang dan syiar mulai bermunculan menjadi tempat pertukaran antar penduduk yang umumnya bermukim di wilayah pesisir pantai. Perkembangannya kemudian mendorong berkembangnya Kesultanan yang menjadi kekuatan politik baru di Pulau Jawa, Sumatera, dan Maluku.

Sebuah perubahan politik ekonomi terjadi ketika pada tahun-tahun berikutnya datang para petualang dan pedagang besar dari Spanyol, Portugis, dan Belanda. Dengan kekuatan politik, bisnis, dan militernya mereka menguasai perekonomian nusantara, melalui monopoli perdagangan dan penguasaan komoditi, pasar, dan tenaga kerja Indonesia. Dimulailah era baru kolonialisme ekonomi yang meliputi hampir seluruh wilayah nusantara. Dalam kurun waktu panjang kolonialisme ekonomi mengalami berbagai perubahan mode (sistem), yang selalu disertai dengan perlawanan tiada henti oleh para pahlawan bangsa.

Sejarah ekonomi bangsa Indonesia pasca kejayaan kerajaan nusantara tersebut kemudian lekat dengan eksploitasi dan sub-ordinasi oleh bangsa lain. keluar dari hisapan kongsi dagang monopolis VOC, ekonomi rakyat Indonesia dijerat sistem tanam paksa (culturstelsel-1830) yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda untuk memenuhi kebutuhan komoditi mereka (Eropa). 40 tahun kemudian (1870), giliran perusahaan swasta Belanda yang menguasai perkebnan kita melalui pemaksaan sistem kapitalis-liberal. Indonesia diperlakuka sebagai ondernaming besar dan penyedia buruh murah bagi pasar luar negeri.

Ekonomi rakyat (pribumi) tetap sebagai korban keserakahan kolonialis hingga merdeka tahun 1945. Paparan fase-fase kolonialisme Indonesia disampaikan Profesor Mubyarto terbagi dalam tiga fase; sistem monopoli VOC, sistem tanam paksa, dan sistem kapitalis-liberal.

SISTEM MONOPOLI VOC
Profesor Mubyarto menyebutkan bahwa pada 200 tahun pertama masa kolonialisme (1600-1800), persatuan Pedagang Belanda (VOC) menerapkan sistem monopoli (monopsony) dalam membeli komoditi-komoditi perdagangan seperti rempah-rempah (lada dan pala, cengkeh, kopi dan gula), sehingga harganya tertekan karena ditetapkan sepihak oleh VOC. Meskipun VOC bukan pemerintah penjajah Belanda, tetapi petani Indonesia juga merasa VOC mempunyai kekuasaan dan daya-paksa seperti pemerintah karena VOC juga mempunyai aparat “pemerintahan”, bahkan memiliki tentara. Itulah sebabnya Companie diucapkan orang Indonesia sebagai kumpeni yang tidak lain berarti “tentara” yang dapat memaksa-maksa petani menyerahkan komoditi perdagangannya yang “dipaksa beli” oleh VOC.

Selanjutnya setelah VOC bubar (bangkrut tahun 1799), pemerintah penjajah Belanda tidak segera menemukan cara-cara tepat unutk mengeksploitasi Indonesia, bahkan pemerintah ini terhenti sementara (1811-1816) karena penugasan atas Indonesia diambil alih oleh Inggris pada saat Belanda di duduki Jerman, dan pemerintah Belanda mengungsi ke Inggris. Letnan Gubernur Thomas Robert Raffles memperkenalkan sistem sewa tanah untuk mengefisienkan tanah jajahan. Sistem sewa tanah ini tidak segera diambil alih pemerintah penjajah Belanda setelah Indonesia (Hindia Belanda) diserahkan kembali kepada Belanda.

SISTEM TANAM PAKSA
Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut karena terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro 1825-1830), dan Perang Paderi di Sumatera Barat (1821-1837), Gubernur Jendral Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Culture Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup deficit anggaran pemerintah penjajahan yang besar. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam disbanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan Negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya pada harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Maka tidak ada perkembangan yang bebas dari sistem pasar.

Selain itu kehidupan rakyat kecil (ekonomi rakyat) makin berat karena penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 73 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak. Produksi pangan rakyat merosot dan timbul kelaparan di berbagai tempat di Jawa. Tanam paksa adalah sistem ekonomi yang merupakan noda hitam bagi sejarah penjajahan Belanda di Indonesia, meskipun bagi pemerintah Belanda dianggap berhasil karena memberikan sumbangan besar bagi kas pemerintah. Selama sistem tanam paksa kas pemerintah jajahan Belanda mengalami surplus (batig slot). Sistem tanam paksa yang kejam ini stelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda di hapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915.

SISTEM EKONOMI KAPITALIS LIBERAL
Sistem ekonomi ke-3 dan terakhir pada jaman penjajahan yang berlangsung sampai Indonesia merdeka adalah sistem ekonomi kapitalis liberal, yang pelaku penentu utamanya bukan lagi pemerintah tetapi pengusaha swasta, sedangkan pemerintah sekedar sebagai penjaga dan pengawas melalui peraturan-peraturan perundang-undangan. Undang-Undang pertama yang menandai sistem baru ini adalah UU Agraria tahun 1870, yang memperbolehkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta menyewa lahan-lahan yang luas untuk jangka waktu sampai 75-99 tahun, untuk ditanami tanaman keras seperti karet, the, kopi, kelapa sawit, atau untuk tanaman semusim seperti tebu dan tambakau.

Table-tabel dibawah ini menggambarkan produksi gula, minyak, karet, kopi, tembakau, kopra, dan komoditi lainnya yang di eksploitasi oleh pihak colonial dari kurun waktu tahun 1870 sampai dengan 1940.

Tabel 1.1 Surplus Komoditi Indonesia

1840 - 1844
1845 - 1849
Coffee
40.278
24.549
Sugar
8.218
4.136
Indigo
7.836
7.726
Pepper, Tea
647
1.725
Total Net Profits
39.341
35.057

Pada saat tanaman-tanaman perdagangan ini mulai dikembangkan, di beberapa daerah rakyat sudah lebih dulu menanaminya, sehingga terjadi persaingan antara perkebunan-perkebunan besar dengan perkebunan-perkebunan rakyat. Dalam persaingan antara dua sub-sistem perkebunan inilah mulai muncul masalah peranan yang tepat dan adil dari pemerintah. Di satu pihak pemerintah ingin agar perusahaan-perusahaan besar memperoleh untung besar sehingga pemerintah mendapat bagian keuntungan berupa pajak-pajak perseroan atau pajak pendapatan dari staf dan karyawan.

Tetapi di pihak lain penduduk pribumi yaitu pekebun-pekebun kecil (perkebunan rakyat) yang sebelumnya sudah mengembangkan tanaman-tanaman ini “tidak boleh dirugikan” terutama dalam pemasaran hasilnya. Terutama dalam produksi dan pemasaran karet persaingan segera timbul, dan pemerintah yang tentunya berkepentingan meningkatkan kemakmuran rakyat tidak boleh membiarkan merosotnya kemakmuran rakyat ini, sehingga harus terus menerus mengawasi hubungan antara keduanya. Misalnya pada saat harga karet jatuh pada awal tahun 1920-an ada usulan pembatasan produksi karet (Stevensen Restriction Scheme) dari pemerintah penjajahan Inggris di Malaya yang tidak disambut baik oleh pemerintah Hindia Belanda. Perkebunan karet rakyat memiliki daya tahan jauh lebih kuat menghadapi krisis ketimbang perusahaan-perusahaan perkebunan besar.

Table dibawah menggambarkan penerimaan perusahaan swasta besar kolonialis yang mengeksploitasi dan menjual berbagai komoditi ekspor ke pasaran Eropa dari tahun 1831-1870.

Tabel 1.2 Surplus Perusahaan Swasta Besar Kolonial

1831/40
1841/50
1851/60
1861/70
Gross revenues of sale of colonial products
227.0
473.9
652.7
641.8
Costs of transport etc (NHM)
88.0
165.4
138.7
114.7
Sum of expenses
59.2
175.1
275.3
276.6
Total net profits
150.6
215.6
289.4
276.7

ERA PENDUDUKAN JEPANG
Pada zaman pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan, ekonomi rakyat makin berkembang dengan pemasaran dalam negeri yang makin luas ditambah pasar luar negeri yang ditinggalkan perkebunan-perkebunan besar yang mulai mundur. Dan dalam hal komoditi tebu di Jawa tanaman tebu rakyat mulai berperan besar menyumbang pada produksi gula merah (gula mangkok) baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Pada tahun 1975 pemerintah yang mulai pusing mengelola industry gula di Jawa membuat putusan mengagetkan dengan Inpres No. 9/1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang melarang pabrik-pabrik gula (pemerintah maupun swasta) menyewa lahan milik petani.

Semua tanah sawah dan tanah kering harus ditanami tebu rakyat karena tanaman rakyat dianggap lebih unggul khususnya secara ekonomis disbanding tanaman perkebunan besar/pabrik, dan yang paling penting pemerintah ingin menghilangkan konflik-konflik yang selalu terjadi antara pabrik-pabrik gula dan rakyat pemilik tanah. Kebijaksanaan TRI ini gagal total karena mengabaikan kenyataan pemilikan tanah rakyat yang sudah sangat sempit, yang mempunyai pilihan (alternative) untuk ditanami padi.

Karena tebu sebagai bahan baku untuk gula harganya ditetapkan pemerintah, sedangkan untuk padi tidak, maka dimana pun petani memilih menanam padi. Akibatnya tujuan untuk menaikkan produksi dan produktivitas tebu tidak tercapai (produksi gula merosot), dan Inpres TRI ini dicabut pada tahun 1998 setelah sangat terlambat, dan membuat kerusakan besar pada industry gula di Jawa. Dewasa ini industry gula di Jawa termasuk salah satu industry yang paling sakit di Indonesia.


Sumber: (Pinjam di Perpustakaan)

Santosa, Awan. 2013. Perekonomian Indonesia Masalah, Potensi dan Alternatif Solusi. Yogyakarta : Graha Ilmu







1 komentar:

  1. Betway to launch in India | Jtmhub.com
    This time, the brand-new Betway India 성남 출장안마 brand is 부천 출장마사지 located in Bengaluru, India 문경 출장마사지 and is set to launch in The 대구광역 출장안마 brand is located in Bengaluru, India. 경산 출장안마

    BalasHapus