SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA
SEJARAH
PRA-KOLONIALISME
Profesor Arysio seorang geology
nuklir dari Brasil dalam riset oceanografi, etnografi, geologi, dam
vulkanologi-nya selama 30 tahun untuk menemukan sebuah tempat yang dikenal
sebagai Atlantis, tempat asal mula peradaban dunia, berkesimpulan bahwa tempat
itu tidak lain dan tidak bukan adalah bumi yang saat ini kita pijak dan diami,
yaitu Indonesia. Penemuan ini diperkuat Openheimer dalam yang menyebut
Indonesia sebagai “eden from east”,
surge dari timur, karena kemajuan dan keelokannya yang luar biasa.
Jauh sebelum bangsa Eropa dan
Amerika berlayar mengarungi samuera Pasifik dan Atlantik disebutkan bahwa nenek
moyang kita, bangsa Indonesia, sudah menempuh perjalanan berat dan hebat sampai
ke Afrika. Hal ini dibuktikan dengan penemuan berbagai situs peninggalan di
beberapa wilayah di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dimana terdapat kemiripan
dengan situs-situs yang terdapat di Negara-negara tersebut. pada fase
selanjutnya kita mengenal masa kejayaan kerajaan Sriwijaya, Samudera Pasai, dan
Majapahit yang sudah berhubungan dagang dengan banyak bangsa lain di berbagai
belahan dunia.
Persinggungan sosial, ekonomi,
agama, dan budaya dengan para pedagang Arab yang membawakan pula ajaran agama
Islam telah turut memajukan kegiatan di sector perniagaan dan pelayaran.
Pasar-pasar sebagai tempat berdagang dan syiar mulai bermunculan menjadi tempat
pertukaran antar penduduk yang umumnya bermukim di wilayah pesisir pantai.
Perkembangannya kemudian mendorong berkembangnya Kesultanan yang menjadi
kekuatan politik baru di Pulau Jawa, Sumatera, dan Maluku.
Sebuah perubahan politik ekonomi
terjadi ketika pada tahun-tahun berikutnya datang para petualang dan pedagang
besar dari Spanyol, Portugis, dan Belanda. Dengan kekuatan politik, bisnis, dan
militernya mereka menguasai perekonomian nusantara, melalui monopoli
perdagangan dan penguasaan komoditi, pasar, dan tenaga kerja Indonesia.
Dimulailah era baru kolonialisme ekonomi yang meliputi hampir seluruh wilayah
nusantara. Dalam kurun waktu panjang kolonialisme ekonomi mengalami berbagai
perubahan mode (sistem), yang selalu disertai dengan perlawanan tiada henti
oleh para pahlawan bangsa.
Sejarah ekonomi bangsa Indonesia
pasca kejayaan kerajaan nusantara tersebut kemudian lekat dengan eksploitasi
dan sub-ordinasi oleh bangsa lain. keluar dari hisapan kongsi dagang monopolis
VOC, ekonomi rakyat Indonesia dijerat sistem tanam paksa (culturstelsel-1830)
yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda untuk memenuhi kebutuhan komoditi
mereka (Eropa). 40 tahun kemudian (1870), giliran perusahaan swasta Belanda
yang menguasai perkebnan kita melalui pemaksaan sistem kapitalis-liberal.
Indonesia diperlakuka sebagai ondernaming besar dan penyedia buruh murah bagi
pasar luar negeri.
Ekonomi rakyat (pribumi) tetap
sebagai korban keserakahan kolonialis hingga merdeka tahun 1945. Paparan
fase-fase kolonialisme Indonesia disampaikan Profesor Mubyarto terbagi dalam
tiga fase; sistem monopoli VOC, sistem tanam paksa, dan sistem
kapitalis-liberal.
SISTEM MONOPOLI VOC
Profesor Mubyarto menyebutkan bahwa
pada 200 tahun pertama masa kolonialisme (1600-1800), persatuan Pedagang
Belanda (VOC) menerapkan sistem monopoli (monopsony) dalam membeli
komoditi-komoditi perdagangan seperti rempah-rempah (lada dan pala, cengkeh,
kopi dan gula), sehingga harganya tertekan karena ditetapkan sepihak oleh VOC.
Meskipun VOC bukan pemerintah penjajah Belanda, tetapi petani Indonesia juga
merasa VOC mempunyai kekuasaan dan daya-paksa seperti pemerintah karena VOC
juga mempunyai aparat “pemerintahan”, bahkan memiliki tentara. Itulah sebabnya Companie diucapkan orang Indonesia
sebagai kumpeni yang tidak lain berarti “tentara” yang dapat memaksa-maksa
petani menyerahkan komoditi perdagangannya yang “dipaksa beli” oleh VOC.
Selanjutnya setelah VOC bubar
(bangkrut tahun 1799), pemerintah penjajah Belanda tidak segera menemukan
cara-cara tepat unutk mengeksploitasi Indonesia, bahkan pemerintah ini terhenti
sementara (1811-1816) karena penugasan atas Indonesia diambil alih oleh Inggris
pada saat Belanda di duduki Jerman, dan pemerintah Belanda mengungsi ke
Inggris. Letnan Gubernur Thomas Robert Raffles memperkenalkan sistem sewa tanah
untuk mengefisienkan tanah jajahan. Sistem sewa tanah ini tidak segera diambil
alih pemerintah penjajah Belanda setelah Indonesia (Hindia Belanda) diserahkan
kembali kepada Belanda.
SISTEM TANAM PAKSA
Pada tahun 1830 pada saat
pemerintah penjajah hampir bangkrut karena terlibat perang Jawa terbesar
(Perang Diponegoro 1825-1830), dan Perang Paderi di Sumatera Barat (1821-1837),
Gubernur Jendral Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam
Paksa (Culture Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan
yang kosong, atau menutup deficit anggaran pemerintah penjajahan yang besar. Sistem
tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam disbanding sistem monopoli VOC
karena ada sasaran pemasukan penerimaan Negara yang sangat dibutuhkan
pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada
VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya pada harga
yang ditetapkan kepada pemerintah. Maka tidak ada perkembangan yang bebas dari
sistem pasar.
Selain itu kehidupan rakyat kecil
(ekonomi rakyat) makin berat karena penduduk desa yang tidak memiliki tanah
harus bekerja 73 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah
yang menjadi semacam pajak. Produksi pangan rakyat merosot dan timbul kelaparan
di berbagai tempat di Jawa. Tanam paksa adalah sistem ekonomi yang merupakan
noda hitam bagi sejarah penjajahan Belanda di Indonesia, meskipun bagi
pemerintah Belanda dianggap berhasil karena memberikan sumbangan besar bagi kas
pemerintah. Selama sistem tanam paksa kas pemerintah jajahan Belanda mengalami
surplus (batig slot). Sistem tanam
paksa yang kejam ini stelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di
Belanda di hapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa
masih terus berlangsung sampai 1915.
SISTEM EKONOMI KAPITALIS LIBERAL
Sistem ekonomi ke-3 dan terakhir
pada jaman penjajahan yang berlangsung sampai Indonesia merdeka adalah sistem
ekonomi kapitalis liberal, yang pelaku penentu utamanya bukan lagi pemerintah
tetapi pengusaha swasta, sedangkan pemerintah sekedar sebagai penjaga dan
pengawas melalui peraturan-peraturan perundang-undangan. Undang-Undang pertama
yang menandai sistem baru ini adalah UU Agraria tahun 1870, yang memperbolehkan
perusahaan-perusahaan perkebunan swasta menyewa lahan-lahan yang luas untuk
jangka waktu sampai 75-99 tahun, untuk ditanami tanaman keras seperti karet,
the, kopi, kelapa sawit, atau untuk tanaman semusim seperti tebu dan tambakau.
Table-tabel dibawah ini
menggambarkan produksi gula, minyak, karet, kopi, tembakau, kopra, dan komoditi
lainnya yang di eksploitasi oleh pihak colonial dari kurun waktu tahun 1870
sampai dengan 1940.
Tabel 1.1 Surplus Komoditi
Indonesia
1840 - 1844
|
1845 - 1849
|
|
Coffee
|
40.278
|
24.549
|
Sugar
|
8.218
|
4.136
|
Indigo
|
7.836
|
7.726
|
Pepper, Tea
|
647
|
1.725
|
Total Net Profits
|
39.341
|
35.057
|
Pada saat tanaman-tanaman
perdagangan ini mulai dikembangkan, di beberapa daerah rakyat sudah lebih dulu
menanaminya, sehingga terjadi persaingan antara perkebunan-perkebunan besar
dengan perkebunan-perkebunan rakyat. Dalam persaingan antara dua sub-sistem
perkebunan inilah mulai muncul masalah peranan yang tepat dan adil dari
pemerintah. Di satu pihak pemerintah ingin agar perusahaan-perusahaan besar
memperoleh untung besar sehingga pemerintah mendapat bagian keuntungan berupa
pajak-pajak perseroan atau pajak pendapatan dari staf dan karyawan.
Tetapi di pihak lain penduduk
pribumi yaitu pekebun-pekebun kecil (perkebunan rakyat) yang sebelumnya sudah
mengembangkan tanaman-tanaman ini “tidak boleh dirugikan” terutama dalam
pemasaran hasilnya. Terutama dalam produksi dan pemasaran karet persaingan segera
timbul, dan pemerintah yang tentunya berkepentingan meningkatkan kemakmuran
rakyat tidak boleh membiarkan merosotnya kemakmuran rakyat ini, sehingga harus
terus menerus mengawasi hubungan antara keduanya. Misalnya pada saat harga
karet jatuh pada awal tahun 1920-an ada usulan pembatasan produksi karet (Stevensen Restriction Scheme) dari
pemerintah penjajahan Inggris di Malaya yang tidak disambut baik oleh
pemerintah Hindia Belanda. Perkebunan karet rakyat memiliki daya tahan jauh
lebih kuat menghadapi krisis ketimbang perusahaan-perusahaan perkebunan besar.
Table dibawah menggambarkan
penerimaan perusahaan swasta besar kolonialis yang mengeksploitasi dan menjual
berbagai komoditi ekspor ke pasaran Eropa dari tahun 1831-1870.
Tabel 1.2 Surplus Perusahaan Swasta
Besar Kolonial
1831/40
|
1841/50
|
1851/60
|
1861/70
|
|
Gross revenues of sale of
colonial products
|
227.0
|
473.9
|
652.7
|
641.8
|
Costs of transport etc
(NHM)
|
88.0
|
165.4
|
138.7
|
114.7
|
Sum of expenses
|
59.2
|
175.1
|
275.3
|
276.6
|
Total net profits
|
150.6
|
215.6
|
289.4
|
276.7
|
ERA PENDUDUKAN JEPANG
Pada zaman pendudukan Jepang dan
awal kemerdekaan, ekonomi rakyat makin berkembang dengan pemasaran dalam negeri
yang makin luas ditambah pasar luar negeri yang ditinggalkan
perkebunan-perkebunan besar yang mulai mundur. Dan dalam hal komoditi tebu di
Jawa tanaman tebu rakyat mulai
berperan besar menyumbang pada produksi gula merah (gula mangkok) baik untuk
kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Pada tahun 1975 pemerintah yang mulai
pusing mengelola industry gula di Jawa membuat putusan mengagetkan dengan
Inpres No. 9/1975 tentang Tebu Rakyat
Intensifikasi (TRI) yang melarang pabrik-pabrik gula (pemerintah maupun
swasta) menyewa lahan milik petani.
Semua tanah sawah dan tanah kering
harus ditanami tebu rakyat karena
tanaman rakyat dianggap lebih unggul khususnya secara ekonomis disbanding
tanaman perkebunan besar/pabrik, dan yang paling penting pemerintah ingin
menghilangkan konflik-konflik yang selalu terjadi antara pabrik-pabrik gula dan
rakyat pemilik tanah. Kebijaksanaan TRI ini gagal total karena mengabaikan
kenyataan pemilikan tanah rakyat yang sudah sangat sempit, yang mempunyai
pilihan (alternative) untuk ditanami padi.
Karena tebu sebagai bahan baku
untuk gula harganya ditetapkan pemerintah, sedangkan untuk padi tidak, maka
dimana pun petani memilih menanam padi. Akibatnya tujuan untuk menaikkan
produksi dan produktivitas tebu tidak tercapai (produksi gula merosot), dan
Inpres TRI ini dicabut pada tahun 1998 setelah sangat terlambat, dan membuat
kerusakan besar pada industry gula di Jawa. Dewasa ini industry gula di Jawa
termasuk salah satu industry yang paling sakit di Indonesia.
Sumber: (Pinjam di Perpustakaan)
Santosa, Awan. 2013. Perekonomian Indonesia Masalah, Potensi dan Alternatif Solusi. Yogyakarta : Graha Ilmu
Sumber: (Pinjam di Perpustakaan)
Santosa, Awan. 2013. Perekonomian Indonesia Masalah, Potensi dan Alternatif Solusi. Yogyakarta : Graha Ilmu
Betway to launch in India | Jtmhub.com
BalasHapusThis time, the brand-new Betway India 성남 출장안마 brand is 부천 출장마사지 located in Bengaluru, India 문경 출장마사지 and is set to launch in The 대구광역 출장안마 brand is located in Bengaluru, India. 경산 출장안마