SISTEM EKONOMI INDONESIA
Perihal sistem ekonomi apa-atau
sistem ekonomi yang bagaimana- yang diterapkan atau berlangsung di Indonesia,
sering dipertanyakan dan diperdebatkan. Pertanyaan sederhana yang jawabannya
pelik ini bukan saja mengundang rasa ingin tahu mahasiswa ekonomi sendiri,
tetapi kalangan awam. Bab ini mencoba mendiskusikan masalah tersebut. akan
tetapi, sebelum beranjak kearah sana, suatu uraian ringkas mengenai pengertian
system itu sendiri, kompleksitas sebuah system dan keterjalinan antarsistem,
serta mengenai sistem-sistem ekonomi yang ada, kiranya dapat menjadi pengantar
pemahaman yang memadai.
3.1 PENGERTIAN SISTEM
Sebuah sistem pada dasarnya adalah suatu
“organisasi besar” yang menjalin berbagai subjek (atau objek) serta perangkat
kelembagaan dalam suatu tatanan tertentu. Subjek atau objek pembentuk sebuah
sistem dapat berupa orang-orang atau masyarakat, untuk suatu sistem sosial atau
sistem kemasyarakatan; makhluk-makhluk hidup dan benda alam, untuk suatu sistem
kehidupan atau sistem lingkungan; barang atau alat; untuk suatu sistem
peralatan; data, catatan, atau kumpulan fakta, untuk suatu sistem informasi;
atau bahkan kombinasi dari objek-objek tersebut.
Kehadiran subjek-subjek (atau objek-objek) semata-mata belumlah cukup untuk membentuk sebuah sistem. Itu baru merupakan himpunan subjek, atau himpunan objek. Himpunan subjek atau himpunan objek baru membentuk sebuah sistem jika lengkap dengan perangkat kelembagaan yang mengatur dan menjalin tentang bagaimana subjek/objek yang ada bekerja, berhubungan, dan berjalan atau dijalankan. Perangkat kelembagaan dimaksud meliputi lembaga atau wadah tempat subjek (objek) itu berhubungan, cara kerja dan mekanisme yang menjalin hubungan subjek (objek) tadi, serta kaidah atau norma yang mengatur hubungan subjek (objek) tersebut agar serasi.
Keserasian hubungan antarsubjek (objek) termasuk bagian atau syarat sebuah system karena, sebagai suatu “organisasi”, setiap system tentu mempunai tujuan tertentu. Keserasian itulah yang akan dijadikan petunjuk apakah sistem itu dapat berjalan/dijalankan, sehingga pada gilirannya kelak akan dapat dinilai apakah tujuan yang diinginkan oleh sistem itu akan tercapai atau tidak. Guna membentuk dan memelihara keserasian itu maka diperlukan kaidah atau norma-norma tertentu yang harus dipatuhi oleh subjek (objek-objek) yang adadalam bekerja dan berhubungan satu sama lain.
Kaidah atau norma
dimaksud bisa berupa aturan dan peraturan, baik yang tertulis maupun tidak
tertulis, untuk suatu system yang menjalin hubungan antarorang. Contohnya
aturan-aturan dalam suatu system kekerabatan, peraturan-peraturan dalam suatu
system politik atau pemerintahan kaidah itu juga bisa berupa
ketentuan-ketentuan teknis, untuk suatu system yang menjalin hubungan antar komponen
sebuah alat atau perlengkapan. Misalnya spesifikasi teknis untuk suatu system
mesin uap, tata letak mesin-mesin dalam system “ban berjalan” pada kegiatan
produksi di sebuah pabrik. Norma tadi bisa pula dalam system kepegawaian,
standar prestasi dalam system penggajian.
Sebuah sistem, sesederhana apapun, senantiasa mengandung kadar kompleksitas tertentu. Dari uraian di atas kiranya cukup jelas, bahwa sebuah sistem bukan sekedar himpunan suatu subjek (misalnya kumpulan orang atau masyarakat, kumpulan karyawan atau serikat buruh), atau himpunan objek (kumpulan tanaman bunga atau taman, kumpulan dokumen atau arsip). Sebuah sistem juga bukan sekedar himpunan kaidah atau norma (misalnya kitab undang-undang hukum perdata, kumpulan peraturan kepegawaian). Bukan pula sekedar kumpulan lembaga/badan/organisasi (misalnya asosiasi eksporter produk-produk tekstil atau perserikatan bangsa-bangsa). Sebuah sistem adalah jalinan semua itu, mencakup subjek (objek) dan perangkat kelembagaan yang membentuknya.
Setiap sistem, jika diurai lebih rinci, pada
dasarnya selalu mempunyai atau dapat dipilah menjadi beberapa subsitem, yakni
sistem-sistem lebih kecil yang merupakan bagan dari irinya. Sebaliknya, setiap
sistem pada hakikatnya senantiasa merupakan bagian dari sebuah suprasistem,
yakni sebuah sistem lebih besar ke mana ia (bersama dengan beberapa sistem
lain) menginduk. Selanjutnya perlu disadari, seringkali suatu sistem tidak
berdiri sendiri, melainkan terkait dengan sistem lain. Pola keterkaitan
antarsistem sangat bervariasi. Bisa karena subjek atau objek yang membentuk
kedua sistem itu sama. Bisa karena lembaga atau wadah dimana kedua sistem itu
terbentuk sama. Bisa pula karena kaidah untuk sistem yang satu juga berlaku
sebagai kaidah di dalam sistem yang lain.
Kesadaran bahwa sistem-sistem dapat-dan bahkan
sering-berkaitan, itu perlu. Kesadaran demikian dapat menghindarkan kita dari
perangkap kepicikan, yakni memandang sesuatu secara tegar hanya berdasarkan
tinjauan sempit sebuah bidang. Sebaliknya, kesadaran demikian akan memperluas
wawasan kita, yakni memandang sesuau secara arif berdasarkan pemahaman lintas
bidang. Sebagaimana akan erungkap di halaman-halaman berikut nanti, sistem
ekonomi tidaklah berdiri sendiri. Ia terkait dengan sistem-sistem lain dalam
sebuah negeri berjalan atau dijalankan, turut dipengaruhi oleh bagaiamana
politik kekuasaan di Negara itu diterapkan, ikut ditentukan oleh bagaimana
budaya masyarakat yang membentuk bangsa tersebut.
Bertolak dari pemahaman dasar mengenai makna
dan hakikat sistem tadi, dengan segala kompleksitas dan keterkaitannya, kini
marilah kita mengenai sistem-sistem ekonomi yang ada.
3.2 SISTEM EKONOMI DAN SISTEM POLITIK
Sistem ekonomi adalah suatu sistem yang
mengatur serta menjalin hubungan ekonomi antar manusia dengan seperangkat
kelembagaan dalam suatu tatanan kehidupan. Sebuah sistem ekonomi terdiri atas
unsur-unsur manusia sebagai subjek; barang-barang ekonomi sebagai objek; serta
seperangkat kelembagaan yang mengatur dan menjalinnya dalam kegiatan
berekonomi. Perangkat kelembagaan dimaksud meliputi lembaga-lembaga ekonomi
(formal maupun non formal); cara kerja; mekanisme hubungan; hukum dan
peraturan-peraturan perekonomian; serta kaidah dan norma-norma lain (tertulis
maupun non tertulis); yang dipilih atau diterima atau ditetapkan masyarakat di
tempat tatanan kehidupan yang bersangkutan berlangsung. Jadi, dalam perangkat
kelembagaan ini termasuk juga kebiasaan, perilaku, dan etika masyarakat;
sebagaimana mereka terapkan dalam berbagai aktivitas yang berkenaan dengan pemanfaatan
sumber daya bagi pemenuhan kebutuhan.
Suatu sistem ekonomi tidaklah berdiri sendiri.
Ia berkaitan dengan falsafah, pandangan dan pola hidup masyarakat tempatnya
berpijak. Sebuah sistem ekonomi sesungguhnya merupakan salah satu unsur saja
dalam suatu suprasistem kehidupan masyarakat. Ia merupakan bagian dari kesatuan
ideology kehidupan bermasyarakat disuatu Negara. Oleh karenanya, bukanlah hal
yang mengherankan apabila dalam perjalanan atau penerapan suatu sistem ekonomi
tertentu di sebuah Negara terjadi benturan, konflik atau bahkan tentangan.
Pelaksanaan suatu sistem ekonomi tertentu di sebuah Negara akan berjalan mulus
jika [baca: jika dan hanya jika] lingkungan kelembagaan masyarakatnya
mendukung.
Sebagai bagian dari suprasistem kehidupan,
sistem ekonomi berkaitan erat dengan sistem-sistem sosial lain yang berlangsung
di dalam masyarakat. Di dunia ini terdapat kecenderungan umum bahwa sistem
ekonomi di sebuah Negara “bergandengan tangan” dengan sistem politik di Negara
bersangkutan, ideology ekonomi berjalan seiring dengan berjalannya ideology
politik. Secara umum, antara unsur-unsur sistem ekonomi dan unsur-unsur politik
dapat ditarik benang merah sebagai berikut:
Tabel 3.1
Benang Merah Hubungan Sistem Ekonomi dengan Sistem Politik
Kutub A
|
Konteks
Pengkutuban
|
Kutub Z
|
Liberalisme
|
Ideologi
politik
|
Komunisme
|
Demokrasi
|
Rejim
pemerintahan
(cara
memerintah)
|
Otokrasi
(otoriter)
|
Egalitarianisme
(egaliter)
|
Penyelenggaraan
kenegaraan
|
Etatisme
|
Desentralisme
|
Struktur
birokrasi
|
Sentralisme
|
Kapitalisme
|
Ideology
ekonomi
|
Sosialisme
|
Mekanisme
Pasar
|
Pengelolaan
ekonomi
|
Perencanaan
Terpusat
|
Sejarah mencatat, Negara-negara yang
berideologi politik liberalisme dengan rejim pemerintahan yang demokratis, pada
umumnya menganut ideology ekonomi kapitalisme dengan pengelolaan ekonomi yang
berlandaskan pada mekanisme pasar. Di Negara-negaa semacam ini penyelenggaraan
kenegaraannya biasanya bersifat egaliter dan struktur birokrasinya
desentralistis. Di lain pihak, Negara-negara yang berideologi politik komunisme
(tatkala paham ini masih hidup subur) dengan rejim pemerintahan yang otoriter,
ideology ekonominya cenderung sosialisme dengan pengelolaan ekonomi berdasarkan
perencanaan terpusat. Penyelenggaraan kenegaraan di Negara-negara seperti ini
biasanya etatis dengan struktur birokrasi yang sentralistis.
Pengkutuban sistem ekonomi dan sistem politik,
serta unsur-unsur benang merah yang menghubungkannya, sebagaimana tercantum
dalam daftar tadi mungkin sepenuhnya berlaku. Akan tetapi terdapat kecenderungan
umum seperti itu. Pada umumnya, Negara-negara yang sistem politiknya tergolong
di “Kutub A”, sistem ekonominya juga tergolong di kutub yang sama. Pada ekstrem
lain, Negara-negara yang sistem politiknya terdaftar di “Kutub Z”, sistem
ekonominya juga terdaftar di kutub serupa. Dalam konteks ekonomi dan politik,
sebutan bagi nama sistemnya acapkali sama dengan cap ideologinya. Dengan
demikian, istilah liberalism dan komunisme bukan saja cap bagi ideologi
politik, akan tetapi juga nama bagi sistem politik. Sama halnya, kapitalisme
dan sosialisme bukan sekedar cap bagi ideology ekonomi, melainkan sekaligus
juga merupakan sebutan terhadap sistem ekonominya. Hal ini tidak salah
mengingat ideology tokh memang
merupakan salah satu unsur.
Sistem ekonomi suatu Negara dikatakan bersifat
khas, sehingga bisa dibedakan dari sistem ekonomi yang berlaku atau diterapkan
di Negara lain, berdasarkan beberapa sudut tinjauan seperti:
a. Sistem pemilikan sumber atau
faktor-faktor produksi;
b. Keleluasaan masyarakat untuk saling
berkompetisi satu sama lain dan untuk menerima imbalan atas prestasi kerjanya;
c. Kadar peranan pemerintah dalam
mengatur, mengarahkan, dan merencanakan kehidupan bisnis dan perekonomian dan
pada umumnya.
3.3 KAPITALISME DAN SOSIALISME
Secara garis besar, di dunia ini pernah
dikenal dua macam sistem ekonomi yang ekstrim, sistem ekonomi kapitalis dan sistem
ekonomi sosialis. Kedua sistem ini sangat berbeda dalam hal ketiga butir
sudut tinjauan yang baru saja diutarakan di atas.
Sistem ekonomi
kapitalisme mengakui
pemilikan individual atas sumber daya-sumber daya ekonomi atau faktor-faktor
produksi. Setidaknya, terdapat keleluasaan yang sangat longgar bagi orang
perorangan dalam atau untuk memiliki sumber daya. Kompetisi antar individu dalam
memenuhi kebutuhan hidup, persaingan antar badan usaha dalam mengejar
keuntungan, sangat dihargai. Tidak terdapat kekangan atau batasan bagi orang
peroranga dalam menerima imbalan atas prestasi kerjanya. Prinsip “keadilan”
yang dianut oleh sistem ekonomi kapitalis adalah “setiap orang menerima imbalan
berdasarkan prestasi kerjanya”. Campur tangan pemerintah atau Negara sangat
minim. Pemerintah lebih berkedudukan sebagai “pengamat” dan “pelindung”
perekonomian.
Sistem
ekonomi sosialis adalah
sebaliknya. Sumber daya ekonomi atau faktor produksi diklaim sebagai milik
Negara. Sistem ini lebih menekankan pada kebersamaan masyarakat dalam
menjalankan dan memajukan perekonomian. Imbalan yang diterimakan pada orang
perorangan didasarkan pada kebutuhannya, bukan berdasarkan jasa yang
dicurahkan. Prinsip “keadilan” yang dianut oleh sistem ekonomi sosialis ialah
“setiap orang menerima imbala yang sama”. Kadar campur tangan pemerintah sangat
tinggi. Justru pemerintahlah yang menentukan dan merencanakan tiga persoalan
pokok ekonomi [what (apa yang harus
diproduksi), how (bagaimana
memproduksinya), for whom (untuk
siapa diproduksi)].
Dalam terminology teori mikroekonomi, sistem
ekonomi kapitalis merupakan suatu sistemekonomi yang menyandarkan diri
sepenuhnya pada mekanisme pasar, prinsip laissez
faire (persaingan bebas), meyakini kemampuan “the invisible hand” dalam menuju efisiensi ekonomi. Mekanisme
pasarlah (kekuatan permintaan dan penawaran) yang menurut-kalangan
kapitalis-akan menentukan secara efisien ketiga pokok persoalan ekonomi.
Sedangkan sistem ekonomi sosialis, sudah
barang tentu, adalah sebaliknya. Bagi kalangan sosialis, pasar justru harus
dikendalikan melalui perencanaan terpusat. Adanya berbagai distorsi dalam
mekanisme pasar, menyebabkannya tidak mungkin bekerja secara efisien; oleh karena itu pemerintah ataunnegara harus turut
aktif bermain dalam perekonomian. Satu hal yang penting untuk dicatat berkenaan
dengan sistem ekonomi sosialis adalah bahwa sistem ini bukanlah sistem ekonomi
yang tidak memandang penting peranan kapital.
Meskipun tidak murni penuh, dua Negara yang
cukup konsisten atau solid menjalankan masing-masing sistem tersebut adalah
Amerika Serikat untuk kapitalisme dan Uni Soviet (sebelum Negara ini bubar)
untuk sosialisme. Sekutu Eropa mereka masing-masing juga menganut sistem
ekonomi Negara afiliasinya, dalam kadar kemurnian yang relative lebih rendah.
sistem ekonomi Negara-negara Eropa Barat (yang sistem politiknya liberal
demokratis) identic dengan yang dijalankan oleh Amerika Serikat, pada umumnya
kapitalisme. Sementara sistem ekonomi Negara-negara Eropa Timur (yang sistem
politiknya komunis-otoriter) mirip seperti yang dijalankan oleh UniSoviet
ketika itu, pada umumnya sosialisme. Semasa “perang dingin”, Amerika Serikat
dan sekutunya di Eropa Barat dikelompokkan sebagai blok Barat, sedangkan Uni
Soviet dan sekutunya di Eropa Timur digolongkan sebagai blok Timur.
Di antara kedua ekstrem sistem ekonomi
tersebut, terdapat sebuah sistem lain yang merupakan “campuran” antara
keduanya, degan berbagai variasi kadar dominasinya, dan juga dengan berbagai
variasi nama atau istilahnya. Sistem ekonomi
campuran pada umumnya diterapkan oleh Negara-negara berkembang atau
Negara-negara dunia ketiga. Beberapa diantaranya cukup konsistem meramu resep
campuran; dalam arti kadar kapitalismenya selalu lebih tinggi (Filipina), atau
bobot sosialismenya senantiasa lebih besar (misalnya India). Banyak pula Negara
berkembang yang goyah meramu campuran kedua sistem ini. Sistem ekonomi campuran
yang diterapkannya ibarat pendulum (bandul jam dinding); kadang-kadag condong
kapitalistik, sementara di lain waktu cenderung sosialistik, mengikuti rejim
pemerintah yang sedang berkuasa.
Perlu dicatat, semasa paham komunisme masih
Berjaya, tidak semua Negara yang menjalankan sistem ekonomi sosialisme adalah
Negara-negara komunis. Di Amerika Utara, Kanada (meskipun bertetangga dengan
dan merupakan sahabat Amerika Serikat, sistem politik Negara ini
liberal-demokratis) menjalan kan sosialisme. Begitu pula sejumlah Negara
Skandinavia di daratan Eropa, walaupun sistem politiknya liberal-demokratis,
menerapkan sistem ekonomi soaialisme. Hanya saja sosialisme di Negara-Negara
liberal- demokratis ini tidak persis sama seperti sosialis di Negara-negara
Blok Timur.
3.4 PERSAINGAN TERKENDALI
Kita kembali ke pertanyaan di awal bab ini,
tentang sistem ekonomi apa yang berlangsung atau diterapkan di tanah air.
Sebagaimana telah disinggung diatas, pertanyaan sederhana ini tidak mudah dijawab.
Langkah terbaik untuk menuju jawabannya adalah dengan terlebih dahulu menelaah
keadaan dan perkembangan perekonomian kita berdasarkan ketiga butir sudut
tinjauan tadi; berdasarkan bukum, perilaku, norma, dan etika yang berlaku atau
dianut oleh masyarakat dalam berekonomi; serta berdasarkan tinjauan pengalaman
kronologis.
Ditinjau berdasarkan sistem pemilikan sumber
daya ekonomi atau faktor-faktor produksi, tak terdapat alasan untuk menyatakan
bahwa sistem ekonomi kita adalah kapitalistik. Sama halnya, tak pula cukup
argumentasi untuk mengatakan bahwa kita meganut sistem ekonomi sosialis.
Indonesia mengaku pemilikan individual atas faktor-faktor produksi; kecuali
untuk sumber daya-sumber daya yang menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai
oleh Negara. Hal ini, sebagaimana diketahui bersama, diatur dengan tegas oleh
pasal 33 UUD 1945. Jadi, secara konstitusional, sistem ekonomi Indonesia bukan
kapitalisme dan bukan pula sosialisme.
Kompetisi untuk memperbaiki taraf kehidupan,
baik antar individu maupun antar badan usaha, tidak dikekang. Berkenaan dengan kompetisi
antar individu, pemerintah tidak membatasi (misalnya) pilihan seseorang untuk
memasuki bidang pendidikan / keahlian yang diminatinya. Tetapi tidak juga
membiarkan orang-orang memasuki bidang pendidikan yang sudah jenuh pasar tenaga
kerjanya. Untuk itu, pemerintah turut mengatur penyediaan bidang
pendidikan/keahilian, berdasarka proyeksi kebutuhan. Jadi, tidak sepenuhnya
dilepas kepada pihak swasta; juga bukan sekedar menyediakan anggaran atau
subsidi dana pendidikan, sebagaimana yang berlangsung pada umumnya di
Negara-negara kapitalis.
Sehubungan dengan persaingan antar badan
usaha, tidak terdapat rintangan bagi suatu perusahaan untuk memasuki bidang
usaha tertentu. Namun untuk menghindari persaingan tak sehat dalam pasar barang
tertentu yag sudah jenuh, pemerintah mengendalikannya dengan membuka
prioritas-prioritas bidang usaha; termasuk juga prioritas lokali usaha.
Pengendalia dimaksud misalnya ialah dengan mengumumkan Daftar Negatif Investasi
(DNI).
Dalam hal penerimaan imbalan atas prestasi
kerja, juga tiak terdapat kekangan. Sangat terbuka peluang bagi setiap pekerja
/ pemodal untuk mendapatkan imbalan melebihi sekedar kebutuhannya. Pemerintah
justru mengatur ketentuan upah minimum bagi pekerja, agar memenuhi standar
kebutuhan hidup minimum yang layak.
Ketiga aline terakhir tadi mengantarkan kita
pada kesimpulan, bahwa iklim persaingan berekonomi dan kompetisi berbisnis di
Indonesia bukanlah persaingan yang bebas lepas, melainkan persaingan yang
terencana terkendali. Dalam sistem ekonomi kapitalis, persaingan bersifat bebas
tanpa kendali pemerintah. Sedangkan dalam sistem ekonomi sosialis, perencanaan
terpusat, sehingga persaingan praktis terkendali, atau bahkan tidak ada sama
sekali. Indonesia tidak demikian. Persaingan tetap ada, akan tetapi-dalam
beberapa hal-terkendali.
Dalam terminologi teori mikroekonomi, atau
ditinjau dari segi pengelolaan ekonomi, Indonesia tidak sepenuhnya menyandarkan
perekonomian pada mekanisme pasar. Dalam beberapa hal, pemerintah turut bermain
dalam perekonomian. Peran sebagai stabilisator dan dinamisator ini dimainkan
baik oleh lembaga-lembaga departemental (instansi teknis) pemerintah maupun
melalui badan-badan usaha milik Negara.
Ketidak-kapitalis-an dan ketidak-sosialis-an
sistem ekonomi Indonesia (masing-masing dalam pengertiannya yang murni)
terlihat pula dalan perilaku, norma, dan etika yng berlangsung atau berlaku di
masyarakat. Kendati tak tertulis, rasionalitas masyarakat Indonesia dalam
berekonomi adalah tercipta atau terpeliharanya optimalitas, bukan maksimalitas.
Dalam memenuhi keinginan, masyarakat lebih memilih tercapainya keadaan optimum
(keserasian pencurahan upaya dan sumber daya dengan hasil yang diperoleh)
daripada peraihan kedudukan maksimum. Walaupun individualisme orang Indonesia
dalam perilaku sehari-hari tampak nyata, dan diduga akhir-akhir ini semakin
tebal, namun rasa kebersamaan dan setiakawanan tak pernah memudar.
3.5 KADAR KAPITALISME DAN SOSIALISME
Unsur-unsur kapitalisme dan sosialisme jelas
terkandung dalam pengorganisasian ekonomi Indonesia. Untuk melihat seberapa
tebal kadar masing-masing ‘isme’ ini mewarnai perekonomian, seseorang bisa
melihatnya dari dua pendekatan. Pertama adalah
dengan pendekatan factual-struktural, yakni
menelaah peranan pemerintah atau Negara dalam struktur perekonomian. Kedua adalah pendekatan sejarah, yakni dengan menelusuri bagaimana perekonomian
bangsa diorganisasikan dari waktu ke waktu.
Untuk mengukur kadar keterlibatan pemerintah
dalam perekonomian dengan pendekatan factual-struktural dapat digunakan
Kesamaan Agregat Keynesian yang
berumuskan Y = C + I + G + (X-M). Dengan formula ini berarti produk atau
pendapatan nasional dirinci menurut penggunaan atau sector pelakunya. Kesamaan
ini merupakan rumus untuk menghitung pendapatan nasional dengan pendekatan
pengeluaran. Variable C melambangkan pengeluaran konsumsi masyarakat, mewakili
sector orang perorangan atau rumah tangga. Variabel I melambangkan pengeluaran
investasi perusahaan-perusahaan, mewakili sector usaha swasta. Sector
pemerintah diwakili oleh variable G yang melambangkan pengeluaran konsumsi
pemerintah. Adapun X dan M masing-masing melambangkan ekspor dan impor,
mewakili sector perdagangan luar negeri Negara yang bersangkutan.
Berdasarkan alat analisis ini dan dengan
memperhatikan data yang tercantum di dalam Tabel 3.2, peranan pengeluaran
konsumsi pemerintah relative konstan atau stabil, berkisar 10% dari produk
domestic bruto. Tidak terdapat tolok ukur untuk menegaskan apakah angka
sedemikian ini tergolong besar atau kecil. Angka-angka di dalam table ini juga
perlu ditafsirkan secara lebih hati-hati. Peranan pemerintah dalam perekonomian
(beerasarakan pendekatan pengeluaran versi Keynesian ini) tidak cukup hanya dilihat
melalui variable G. Hal ini mengingat di dalam variable I (pembentukan modal
domestic bruto) sesungguhnya terdapat pula unsur investasi pemerintah.
Begitupun halnya dengan variable (X-M), selisih neto ekspor-impor. Sebuah
kepastian yang dapat disimpulkan dari telaah ini adalah bahwa peranan konsumtif
pemerintah tidak semakin membesar, bahkan cenderung menurun.
TABEL 3.2 PDB Indonesia Menurut Sektor
Penggunaan/Pelaku pada Tahun 1970 – 1993
(Persentase, Berdasarkan Harga Berlaku)
Keterangan
|
1970
|
1975
|
1980
|
1985
|
1990
|
1993
|
C
|
79,64
|
69,06
|
60,52
|
58,97
|
53,77
|
52,43
|
I
|
14,05
|
20,34
|
20,87
|
28,05
|
36,49
|
35,28
|
G
|
9,05
|
9,92
|
10,32
|
11,23
|
8,87
|
9,85
|
X
|
13,40
|
22,92
|
30,47
|
22,20
|
25,89
|
28,29
|
M
|
16,14
|
22,24
|
22,18
|
20,45
|
25,03
|
25,85
|
PDB
|
100
|
100
|
100
|
100
|
100
|
100
|
Sumber: (Pinjam di Perpustakaan)
Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta : Erlangga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar