Selasa, 26 Maret 2019

SISTEM EKONOMI INDONESIA


SISTEM EKONOMI INDONESIA

Perihal sistem ekonomi apa-atau sistem ekonomi yang bagaimana- yang diterapkan atau berlangsung di Indonesia, sering dipertanyakan dan diperdebatkan. Pertanyaan sederhana yang jawabannya pelik ini bukan saja mengundang rasa ingin tahu mahasiswa ekonomi sendiri, tetapi kalangan awam. Bab ini mencoba mendiskusikan masalah tersebut. akan tetapi, sebelum beranjak kearah sana, suatu uraian ringkas mengenai pengertian system itu sendiri, kompleksitas sebuah system dan keterjalinan antarsistem, serta mengenai sistem-sistem ekonomi yang ada, kiranya dapat menjadi pengantar pemahaman yang memadai.

3.1 PENGERTIAN SISTEM
Sebuah sistem pada dasarnya adalah suatu “organisasi besar” yang menjalin berbagai subjek (atau objek) serta perangkat kelembagaan dalam suatu tatanan tertentu. Subjek atau objek pembentuk sebuah sistem dapat berupa orang-orang atau masyarakat, untuk suatu sistem sosial atau sistem kemasyarakatan; makhluk-makhluk hidup dan benda alam, untuk suatu sistem kehidupan atau sistem lingkungan; barang atau alat; untuk suatu sistem peralatan; data, catatan, atau kumpulan fakta, untuk suatu sistem informasi; atau bahkan kombinasi dari objek-objek tersebut.

Kehadiran subjek-subjek (atau objek-objek) semata-mata belumlah cukup untuk membentuk sebuah sistem. Itu baru merupakan himpunan subjek, atau himpunan objek. Himpunan subjek atau himpunan objek baru membentuk sebuah sistem jika lengkap dengan perangkat kelembagaan yang mengatur dan menjalin tentang bagaimana subjek/objek yang ada bekerja, berhubungan, dan berjalan atau dijalankan. Perangkat kelembagaan dimaksud meliputi lembaga atau wadah tempat subjek (objek) itu berhubungan, cara kerja dan mekanisme yang menjalin hubungan subjek (objek) tadi, serta kaidah atau norma yang mengatur hubungan subjek (objek) tersebut agar serasi.

Keserasian hubungan antarsubjek (objek) termasuk bagian atau syarat sebuah system karena, sebagai suatu “organisasi”, setiap system tentu mempunai tujuan tertentu. Keserasian itulah yang akan dijadikan petunjuk apakah sistem itu dapat berjalan/dijalankan, sehingga pada gilirannya kelak akan dapat dinilai apakah tujuan yang diinginkan oleh sistem itu akan tercapai atau tidak. Guna membentuk dan memelihara keserasian itu maka diperlukan kaidah atau norma-norma tertentu yang harus dipatuhi oleh subjek (objek-objek) yang adadalam bekerja dan berhubungan satu sama lain.

Kaidah atau norma dimaksud bisa berupa aturan dan peraturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, untuk suatu system yang menjalin hubungan antarorang. Contohnya aturan-aturan dalam suatu system kekerabatan, peraturan-peraturan dalam suatu system politik atau pemerintahan kaidah itu juga bisa berupa ketentuan-ketentuan teknis, untuk suatu system yang menjalin hubungan antar komponen sebuah alat atau perlengkapan. Misalnya spesifikasi teknis untuk suatu system mesin uap, tata letak mesin-mesin dalam system “ban berjalan” pada kegiatan produksi di sebuah pabrik. Norma tadi bisa pula dalam system kepegawaian, standar prestasi dalam system penggajian.

Sebuah sistem, sesederhana apapun, senantiasa mengandung kadar kompleksitas tertentu. Dari uraian di atas kiranya cukup jelas, bahwa sebuah sistem bukan sekedar himpunan suatu subjek (misalnya kumpulan orang atau masyarakat, kumpulan karyawan atau serikat buruh), atau himpunan objek (kumpulan tanaman bunga atau taman, kumpulan dokumen atau arsip). Sebuah sistem juga bukan sekedar himpunan kaidah atau norma (misalnya kitab undang-undang hukum perdata, kumpulan peraturan kepegawaian). Bukan pula sekedar kumpulan lembaga/badan/organisasi (misalnya asosiasi eksporter produk-produk tekstil atau perserikatan bangsa-bangsa). Sebuah sistem adalah jalinan semua itu, mencakup subjek (objek) dan perangkat kelembagaan yang membentuknya.

Setiap sistem, jika diurai lebih rinci, pada dasarnya selalu mempunyai atau dapat dipilah menjadi beberapa subsitem, yakni sistem-sistem lebih kecil yang merupakan bagan dari irinya. Sebaliknya, setiap sistem pada hakikatnya senantiasa merupakan bagian dari sebuah suprasistem, yakni sebuah sistem lebih besar ke mana ia (bersama dengan beberapa sistem lain) menginduk. Selanjutnya perlu disadari, seringkali suatu sistem tidak berdiri sendiri, melainkan terkait dengan sistem lain. Pola keterkaitan antarsistem sangat bervariasi. Bisa karena subjek atau objek yang membentuk kedua sistem itu sama. Bisa karena lembaga atau wadah dimana kedua sistem itu terbentuk sama. Bisa pula karena kaidah untuk sistem yang satu juga berlaku sebagai kaidah di dalam sistem yang lain.

Kesadaran bahwa sistem-sistem dapat-dan bahkan sering-berkaitan, itu perlu. Kesadaran demikian dapat menghindarkan kita dari perangkap kepicikan, yakni memandang sesuatu secara tegar hanya berdasarkan tinjauan sempit sebuah bidang. Sebaliknya, kesadaran demikian akan memperluas wawasan kita, yakni memandang sesuau secara arif berdasarkan pemahaman lintas bidang. Sebagaimana akan erungkap di halaman-halaman berikut nanti, sistem ekonomi tidaklah berdiri sendiri. Ia terkait dengan sistem-sistem lain dalam sebuah negeri berjalan atau dijalankan, turut dipengaruhi oleh bagaiamana politik kekuasaan di Negara itu diterapkan, ikut ditentukan oleh bagaimana budaya masyarakat yang membentuk bangsa tersebut.

Bertolak dari pemahaman dasar mengenai makna dan hakikat sistem tadi, dengan segala kompleksitas dan keterkaitannya, kini marilah kita mengenai sistem-sistem ekonomi yang ada.

3.2 SISTEM EKONOMI DAN SISTEM POLITIK

Sistem ekonomi adalah suatu sistem yang mengatur serta menjalin hubungan ekonomi antar manusia dengan seperangkat kelembagaan dalam suatu tatanan kehidupan. Sebuah sistem ekonomi terdiri atas unsur-unsur manusia sebagai subjek; barang-barang ekonomi sebagai objek; serta seperangkat kelembagaan yang mengatur dan menjalinnya dalam kegiatan berekonomi. Perangkat kelembagaan dimaksud meliputi lembaga-lembaga ekonomi (formal maupun non formal); cara kerja; mekanisme hubungan; hukum dan peraturan-peraturan perekonomian; serta kaidah dan norma-norma lain (tertulis maupun non tertulis); yang dipilih atau diterima atau ditetapkan masyarakat di tempat tatanan kehidupan yang bersangkutan berlangsung. Jadi, dalam perangkat kelembagaan ini termasuk juga kebiasaan, perilaku, dan etika masyarakat; sebagaimana mereka terapkan dalam berbagai aktivitas yang berkenaan dengan pemanfaatan sumber daya bagi pemenuhan kebutuhan.

Suatu sistem ekonomi tidaklah berdiri sendiri. Ia berkaitan dengan falsafah, pandangan dan pola hidup masyarakat tempatnya berpijak. Sebuah sistem ekonomi sesungguhnya merupakan salah satu unsur saja dalam suatu suprasistem kehidupan masyarakat. Ia merupakan bagian dari kesatuan ideology kehidupan bermasyarakat disuatu Negara. Oleh karenanya, bukanlah hal yang mengherankan apabila dalam perjalanan atau penerapan suatu sistem ekonomi tertentu di sebuah Negara terjadi benturan, konflik atau bahkan tentangan. Pelaksanaan suatu sistem ekonomi tertentu di sebuah Negara akan berjalan mulus jika [baca: jika dan hanya jika] lingkungan kelembagaan masyarakatnya mendukung.

Sebagai bagian dari suprasistem kehidupan, sistem ekonomi berkaitan erat dengan sistem-sistem sosial lain yang berlangsung di dalam masyarakat. Di dunia ini terdapat kecenderungan umum bahwa sistem ekonomi di sebuah Negara “bergandengan tangan” dengan sistem politik di Negara bersangkutan, ideology ekonomi berjalan seiring dengan berjalannya ideology politik. Secara umum, antara unsur-unsur sistem ekonomi dan unsur-unsur politik dapat ditarik benang merah sebagai berikut:

Tabel 3.1 Benang Merah Hubungan Sistem Ekonomi dengan Sistem Politik
Kutub A
Konteks Pengkutuban
Kutub Z
Liberalisme
Ideologi politik
Komunisme
Demokrasi
Rejim pemerintahan
(cara memerintah)
Otokrasi
(otoriter)
Egalitarianisme
(egaliter)
Penyelenggaraan kenegaraan
Etatisme

Desentralisme
Struktur birokrasi
Sentralisme
Kapitalisme
Ideology ekonomi
Sosialisme
Mekanisme Pasar
Pengelolaan ekonomi
Perencanaan Terpusat



Sejarah mencatat, Negara-negara yang berideologi politik liberalisme dengan rejim pemerintahan yang demokratis, pada umumnya menganut ideology ekonomi kapitalisme dengan pengelolaan ekonomi yang berlandaskan pada mekanisme pasar. Di Negara-negaa semacam ini penyelenggaraan kenegaraannya biasanya bersifat egaliter dan struktur birokrasinya desentralistis. Di lain pihak, Negara-negara yang berideologi politik komunisme (tatkala paham ini masih hidup subur) dengan rejim pemerintahan yang otoriter, ideology ekonominya cenderung sosialisme dengan pengelolaan ekonomi berdasarkan perencanaan terpusat. Penyelenggaraan kenegaraan di Negara-negara seperti ini biasanya etatis dengan struktur birokrasi yang sentralistis.

Pengkutuban sistem ekonomi dan sistem politik, serta unsur-unsur benang merah yang menghubungkannya, sebagaimana tercantum dalam daftar tadi mungkin sepenuhnya berlaku. Akan tetapi terdapat kecenderungan umum seperti itu. Pada umumnya, Negara-negara yang sistem politiknya tergolong di “Kutub A”, sistem ekonominya juga tergolong di kutub yang sama. Pada ekstrem lain, Negara-negara yang sistem politiknya terdaftar di “Kutub Z”, sistem ekonominya juga terdaftar di kutub serupa. Dalam konteks ekonomi dan politik, sebutan bagi nama sistemnya acapkali sama dengan cap ideologinya. Dengan demikian, istilah liberalism dan komunisme bukan saja cap bagi ideologi politik, akan tetapi juga nama bagi sistem politik. Sama halnya, kapitalisme dan sosialisme bukan sekedar cap bagi ideology ekonomi, melainkan sekaligus juga merupakan sebutan terhadap sistem ekonominya. Hal ini tidak salah mengingat ideology tokh memang merupakan salah satu unsur.

Sistem ekonomi suatu Negara dikatakan bersifat khas, sehingga bisa dibedakan dari sistem ekonomi yang berlaku atau diterapkan di Negara lain, berdasarkan beberapa sudut tinjauan seperti:
a.      Sistem pemilikan sumber atau faktor-faktor produksi;
b.      Keleluasaan masyarakat untuk saling berkompetisi satu sama lain dan untuk menerima imbalan atas prestasi kerjanya;
c.       Kadar peranan pemerintah dalam mengatur, mengarahkan, dan merencanakan kehidupan bisnis dan perekonomian dan pada umumnya.

3.3 KAPITALISME DAN SOSIALISME

Secara garis besar, di dunia ini pernah dikenal dua macam sistem ekonomi yang ekstrim, sistem ekonomi kapitalis dan sistem ekonomi sosialis. Kedua sistem ini sangat berbeda dalam hal ketiga butir sudut tinjauan yang baru saja diutarakan di atas.

Sistem ekonomi kapitalisme mengakui pemilikan individual atas sumber daya-sumber daya ekonomi atau faktor-faktor produksi. Setidaknya, terdapat keleluasaan yang sangat longgar bagi orang perorangan dalam atau untuk memiliki sumber daya. Kompetisi antar individu dalam memenuhi kebutuhan hidup, persaingan antar badan usaha dalam mengejar keuntungan, sangat dihargai. Tidak terdapat kekangan atau batasan bagi orang peroranga dalam menerima imbalan atas prestasi kerjanya. Prinsip “keadilan” yang dianut oleh sistem ekonomi kapitalis adalah “setiap orang menerima imbalan berdasarkan prestasi kerjanya”. Campur tangan pemerintah atau Negara sangat minim. Pemerintah lebih berkedudukan sebagai “pengamat” dan “pelindung” perekonomian.

Sistem ekonomi sosialis adalah sebaliknya. Sumber daya ekonomi atau faktor produksi diklaim sebagai milik Negara. Sistem ini lebih menekankan pada kebersamaan masyarakat dalam menjalankan dan memajukan perekonomian. Imbalan yang diterimakan pada orang perorangan didasarkan pada kebutuhannya, bukan berdasarkan jasa yang dicurahkan. Prinsip “keadilan” yang dianut oleh sistem ekonomi sosialis ialah “setiap orang menerima imbala yang sama”. Kadar campur tangan pemerintah sangat tinggi. Justru pemerintahlah yang menentukan dan merencanakan tiga persoalan pokok ekonomi [what (apa yang harus diproduksi), how (bagaimana memproduksinya), for whom (untuk siapa diproduksi)].

Dalam terminology teori mikroekonomi, sistem ekonomi kapitalis merupakan suatu sistemekonomi yang menyandarkan diri sepenuhnya pada mekanisme pasar, prinsip laissez faire (persaingan bebas), meyakini kemampuan “the invisible hand” dalam menuju efisiensi ekonomi. Mekanisme pasarlah (kekuatan permintaan dan penawaran) yang menurut-kalangan kapitalis-akan menentukan secara efisien ketiga pokok persoalan ekonomi.

Sedangkan sistem ekonomi sosialis, sudah barang tentu, adalah sebaliknya. Bagi kalangan sosialis, pasar justru harus dikendalikan melalui perencanaan terpusat. Adanya berbagai distorsi dalam mekanisme pasar, menyebabkannya tidak mungkin bekerja secara efisien; oleh  karena itu pemerintah ataunnegara harus turut aktif bermain dalam perekonomian. Satu hal yang penting untuk dicatat berkenaan dengan sistem ekonomi sosialis adalah bahwa sistem ini bukanlah sistem ekonomi yang tidak memandang penting peranan kapital.

Meskipun tidak murni penuh, dua Negara yang cukup konsisten atau solid menjalankan masing-masing sistem tersebut adalah Amerika Serikat untuk kapitalisme dan Uni Soviet (sebelum Negara ini bubar) untuk sosialisme. Sekutu Eropa mereka masing-masing juga menganut sistem ekonomi Negara afiliasinya, dalam kadar kemurnian yang relative lebih rendah. sistem ekonomi Negara-negara Eropa Barat (yang sistem politiknya liberal demokratis) identic dengan yang dijalankan oleh Amerika Serikat, pada umumnya kapitalisme. Sementara sistem ekonomi Negara-negara Eropa Timur (yang sistem politiknya komunis-otoriter) mirip seperti yang dijalankan oleh UniSoviet ketika itu, pada umumnya sosialisme. Semasa “perang dingin”, Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa Barat dikelompokkan sebagai blok Barat, sedangkan Uni Soviet dan sekutunya di Eropa Timur digolongkan sebagai blok Timur.

Di antara kedua ekstrem sistem ekonomi tersebut, terdapat sebuah sistem lain yang merupakan “campuran” antara keduanya, degan berbagai variasi kadar dominasinya, dan juga dengan berbagai variasi nama atau istilahnya. Sistem ekonomi campuran pada umumnya diterapkan oleh Negara-negara berkembang atau Negara-negara dunia ketiga. Beberapa diantaranya cukup konsistem meramu resep campuran; dalam arti kadar kapitalismenya selalu lebih tinggi (Filipina), atau bobot sosialismenya senantiasa lebih besar (misalnya India). Banyak pula Negara berkembang yang goyah meramu campuran kedua sistem ini. Sistem ekonomi campuran yang diterapkannya ibarat pendulum (bandul jam dinding); kadang-kadag condong kapitalistik, sementara di lain waktu cenderung sosialistik, mengikuti rejim pemerintah yang sedang berkuasa.

Perlu dicatat, semasa paham komunisme masih Berjaya, tidak semua Negara yang menjalankan sistem ekonomi sosialisme adalah Negara-negara komunis. Di Amerika Utara, Kanada (meskipun bertetangga dengan dan merupakan sahabat Amerika Serikat, sistem politik Negara ini liberal-demokratis) menjalan kan sosialisme. Begitu pula sejumlah Negara Skandinavia di daratan Eropa, walaupun sistem politiknya liberal-demokratis, menerapkan sistem ekonomi soaialisme. Hanya saja sosialisme di Negara-Negara liberal- demokratis ini tidak persis sama seperti sosialis di Negara-negara Blok Timur.

3.4 PERSAINGAN TERKENDALI

Kita kembali ke pertanyaan di awal bab ini, tentang sistem ekonomi apa yang berlangsung atau diterapkan di tanah air. Sebagaimana telah disinggung diatas, pertanyaan sederhana ini tidak mudah dijawab. Langkah terbaik untuk menuju jawabannya adalah dengan terlebih dahulu menelaah keadaan dan perkembangan perekonomian kita berdasarkan ketiga butir sudut tinjauan tadi; berdasarkan bukum, perilaku, norma, dan etika yang berlaku atau dianut oleh masyarakat dalam berekonomi; serta berdasarkan tinjauan pengalaman kronologis.

Ditinjau berdasarkan sistem pemilikan sumber daya ekonomi atau faktor-faktor produksi, tak terdapat alasan untuk menyatakan bahwa sistem ekonomi kita adalah kapitalistik. Sama halnya, tak pula cukup argumentasi untuk mengatakan bahwa kita meganut sistem ekonomi sosialis. Indonesia mengaku pemilikan individual atas faktor-faktor produksi; kecuali untuk sumber daya-sumber daya yang menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh Negara. Hal ini, sebagaimana diketahui bersama, diatur dengan tegas oleh pasal 33 UUD 1945. Jadi, secara konstitusional, sistem ekonomi Indonesia bukan kapitalisme dan bukan pula sosialisme.

Kompetisi untuk memperbaiki taraf kehidupan, baik antar individu maupun antar badan usaha, tidak dikekang. Berkenaan dengan kompetisi antar individu, pemerintah tidak membatasi (misalnya) pilihan seseorang untuk memasuki bidang pendidikan / keahlian yang diminatinya. Tetapi tidak juga membiarkan orang-orang memasuki bidang pendidikan yang sudah jenuh pasar tenaga kerjanya. Untuk itu, pemerintah turut mengatur penyediaan bidang pendidikan/keahilian, berdasarka proyeksi kebutuhan. Jadi, tidak sepenuhnya dilepas kepada pihak swasta; juga bukan sekedar menyediakan anggaran atau subsidi dana pendidikan, sebagaimana yang berlangsung pada umumnya di Negara-negara kapitalis.

Sehubungan dengan persaingan antar badan usaha, tidak terdapat rintangan bagi suatu perusahaan untuk memasuki bidang usaha tertentu. Namun untuk menghindari persaingan tak sehat dalam pasar barang tertentu yag sudah jenuh, pemerintah mengendalikannya dengan membuka prioritas-prioritas bidang usaha; termasuk juga prioritas lokali usaha. Pengendalia dimaksud misalnya ialah dengan mengumumkan Daftar Negatif Investasi (DNI).

Dalam hal penerimaan imbalan atas prestasi kerja, juga tiak terdapat kekangan. Sangat terbuka peluang bagi setiap pekerja / pemodal untuk mendapatkan imbalan melebihi sekedar kebutuhannya. Pemerintah justru mengatur ketentuan upah minimum bagi pekerja, agar memenuhi standar kebutuhan hidup minimum yang layak.

Ketiga aline terakhir tadi mengantarkan kita pada kesimpulan, bahwa iklim persaingan berekonomi dan kompetisi berbisnis di Indonesia bukanlah persaingan yang bebas lepas, melainkan persaingan yang terencana terkendali. Dalam sistem ekonomi kapitalis, persaingan bersifat bebas tanpa kendali pemerintah. Sedangkan dalam sistem ekonomi sosialis, perencanaan terpusat, sehingga persaingan praktis terkendali, atau bahkan tidak ada sama sekali. Indonesia tidak demikian. Persaingan tetap ada, akan tetapi-dalam beberapa hal-terkendali.

Dalam terminologi teori mikroekonomi, atau ditinjau dari segi pengelolaan ekonomi, Indonesia tidak sepenuhnya menyandarkan perekonomian pada mekanisme pasar. Dalam beberapa hal, pemerintah turut bermain dalam perekonomian. Peran sebagai stabilisator dan dinamisator ini dimainkan baik oleh lembaga-lembaga departemental (instansi teknis) pemerintah maupun melalui badan-badan usaha milik Negara.

Ketidak-kapitalis-an dan ketidak-sosialis-an sistem ekonomi Indonesia (masing-masing dalam pengertiannya yang murni) terlihat pula dalan perilaku, norma, dan etika yng berlangsung atau berlaku di masyarakat. Kendati tak tertulis, rasionalitas masyarakat Indonesia dalam berekonomi adalah tercipta atau terpeliharanya optimalitas, bukan maksimalitas. Dalam memenuhi keinginan, masyarakat lebih memilih tercapainya keadaan optimum (keserasian pencurahan upaya dan sumber daya dengan hasil yang diperoleh) daripada peraihan kedudukan maksimum. Walaupun individualisme orang Indonesia dalam perilaku sehari-hari tampak nyata, dan diduga akhir-akhir ini semakin tebal, namun rasa kebersamaan dan setiakawanan tak pernah memudar.

3.5 KADAR KAPITALISME DAN SOSIALISME

Unsur-unsur kapitalisme dan sosialisme jelas terkandung dalam pengorganisasian ekonomi Indonesia. Untuk melihat seberapa tebal kadar masing-masing ‘isme’ ini mewarnai perekonomian, seseorang bisa melihatnya dari dua pendekatan. Pertama adalah dengan pendekatan factual-struktural, yakni menelaah peranan pemerintah atau Negara dalam struktur perekonomian. Kedua adalah pendekatan sejarah, yakni dengan menelusuri bagaimana perekonomian bangsa diorganisasikan dari waktu ke waktu.

Untuk mengukur kadar keterlibatan pemerintah dalam perekonomian dengan pendekatan factual-struktural dapat digunakan Kesamaan Agregat Keynesian yang berumuskan Y = C + I + G + (X-M). Dengan formula ini berarti produk atau pendapatan nasional dirinci menurut penggunaan atau sector pelakunya. Kesamaan ini merupakan rumus untuk menghitung pendapatan nasional dengan pendekatan pengeluaran. Variable C melambangkan pengeluaran konsumsi masyarakat, mewakili sector orang perorangan atau rumah tangga. Variabel I melambangkan pengeluaran investasi perusahaan-perusahaan, mewakili sector usaha swasta. Sector pemerintah diwakili oleh variable G yang melambangkan pengeluaran konsumsi pemerintah. Adapun X dan M masing-masing melambangkan ekspor dan impor, mewakili sector perdagangan luar negeri Negara yang bersangkutan.

Berdasarkan alat analisis ini dan dengan memperhatikan data yang tercantum di dalam Tabel 3.2, peranan pengeluaran konsumsi pemerintah relative konstan atau stabil, berkisar 10% dari produk domestic bruto. Tidak terdapat tolok ukur untuk menegaskan apakah angka sedemikian ini tergolong besar atau kecil. Angka-angka di dalam table ini juga perlu ditafsirkan secara lebih hati-hati. Peranan pemerintah dalam perekonomian (beerasarakan pendekatan pengeluaran versi Keynesian ini) tidak cukup hanya dilihat melalui variable G. Hal ini mengingat di dalam variable I (pembentukan modal domestic bruto) sesungguhnya terdapat pula unsur investasi pemerintah. Begitupun halnya dengan variable (X-M), selisih neto ekspor-impor. Sebuah kepastian yang dapat disimpulkan dari telaah ini adalah bahwa peranan konsumtif pemerintah tidak semakin membesar, bahkan cenderung menurun.

TABEL 3.2 PDB Indonesia Menurut Sektor Penggunaan/Pelaku pada Tahun 1970 – 1993
(Persentase, Berdasarkan Harga Berlaku)
Keterangan
1970
1975
1980
1985
1990
1993
C
79,64
69,06
60,52
58,97
53,77
52,43
I
14,05
20,34
20,87
28,05
36,49
35,28
G
9,05
9,92
10,32
11,23
8,87
9,85
X
13,40
22,92
30,47
22,20
25,89
28,29
M
16,14
22,24
22,18
20,45
25,03
25,85
PDB
100
100
100
100
100
100



Sumber: (Pinjam di Perpustakaan)

Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta : Erlangga






Tidak ada komentar:

Posting Komentar